วันศุกร์ที่ 12 มิถุนายน พ.ศ. 2552

HAKIKAT JIHAD
















Oleh
Ustadz Abu Qatadah

Jihad merupakan puncak kekuatan dan kemuliaan Islam. Orang yang berjihad akan menempati kedudukan yang tinggi di surga, sebagaimana juga memiliki kedudukan yang tinggi di dunia

Secara umum, hakikat jihad mempunyai makna yang sangat luas. Yaitu, berjihad melawan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan orang-orang fasik dari kalangan ahli bid’ah dan maksiat. Sedangkan menurut syara’ jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir. [Lihat Fathul Bari 6/77]

Sehingga dapat disimpulkan, jihad itu meliputi empat bagian :
Pertama : Jihad melawan hawa nafsu
Kedua : Jihad melawan setan
Ketiga : Berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran.
Keempat : Jihad melawan orang-orang munafik dan kafir

Jihad melawan hawa nafsu, meliputi empat masalah :
Pertama : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mencari dan mempelajari kebenaran agama yang haq.
Kedua : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Ketiga : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mendakwahkan ilmu dan agama yang haq.
Keempat : Berjihad melawan hawa nafsu dengan bersabar dalam mencari ilmu, beramal dan dalam berdakwah.

Adapun berjihad melawan setan dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan yang berupa syubhat dan keraguan yang dapat mencederai keimanan
Kedua : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan dan keinginan-keinginan hawa nafsu yang merusak.

Sedangkan berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran, meliputi tiga tahapan. Yaitu dengan tangan apabila mampu. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hati, yang setiap kaum muslimin wajib melakukannya. Yaitu dengan cara membenci mereka, tidak mencintai mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak memberikan bantuan terhadap mereka, dan tidak memuji mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Tiga perkara ; barangsiapa yang pada dirinya terdapat tiga perkara ini, maka dia akan mendapatkan kelezatan iman ; Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lainnya, ia mencintai seseorang hanya karena Allah dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” [HR Bukhari dan Muslim]

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia berarti telah sempurna imannya” [HR Abu Dawud]

“Barangsiapa membuat perkara yang baru atau mendukung pelaku bid’ah, maka dia terkena laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia” [HR Bukhari dan Muslim]

Berjihad melawan orang fasik dengan lisan merupakan hak orang-orang yang memiliki ilmu dan kalangan para ulama yaitu dengan cara menegakkan hujjah dan membantah hujjah mereka, serta menjelaskan kesesatan mereka, baik dengan tulisan ataupun dengan lisan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid” [Lihat Al-Fatawa 4/13]

Syaikhul Islam juga mengatakan : “Apabila seorang mubtadi menyeru kepada aqidah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, atau menempuh manhaj yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan manusia, maka wajib untuk menjelaskan kesesatannya, sehingga orang-orang terjaga dari kesesatannya dan mereka mengetahui keadaannya” [Lihat Al-Fatawa 28/221]

Oleh karena itu, membantah ahli bid’ah dengan hujjah dan argumentasi, menjelaskan yang haq, serta menjelaskan bahaya aqidah ahli bid’ah, merupakan sesuatu yang wajib, untuk membersihkan ajaran Allah, agamaNya, manhajNya, syari’atNya. Dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, menolak kejahatan dan kedustaan ahli bid’ah merupakan fardu kifayah. Karena seandainya Allah tidak membangkitkan orang yang membantah mereka, tentulah agama itu akan rusak. Ketahuilah, kerusakan yang ditimbulkan dari perbuatan mereka, lebih berbahaya daripada berkuasanya orang kafir. Karena kerusakan orang kafir dapat diketahui oleh setiap orang, sedangkan kerusakan pelaku bid’ah hanya diketahui oleh orang-orang alim.

Adapun berjihad melawan orang fasik dengan tangan, maka ini menjadi hak bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan atau Amirul Mukminin, yaitu dengan cara menegakkan hudud (hukuman) terhadap setiap orang yang melanggar hukum-hukum Allah dan RasulNya. Sebagaimana pernah dilakukan Abu Bakar dengan memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, Ali bin Abi Thalib memerangi orang-orang Khawarij dan orang-orang Syi’ah Rafidhah.

Bagaimana dengan berjihad melawan orang-orang munafik dan kafir ? Al-Imam Ibnu Qayyim menyatakan, jihad memerangi orang kafir adalah fardhu ‘ain ; dia berjihad dengan hatinya, atau lisannya, atau dengan hartanya, atau dengan tangnnya ; maka setiap muslim berjihad dengan salah satu di antara jenis jihad ini. [Lihat Zadul Ma’ad 3/64]

Akan tetapi, berjihad memerangi orang kafir dengan tangan hukumnya fardhu kifayah, dan tidak menjadi fardhu ‘ain, kecuali jika terpenuhi salah satu dari empat syarat berikut ini :

Pertama : Apabila dia berada di medan pertempuran.
Kedua : Apabila negerinya diserang musuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan ; “Apabila musuh telah masuk menyerang sebuah negara Islam, maka tidak diragukan lagi, wajib bagi kaum muslimin untuk mempertahankan negaranya dan setiap negara yang terdekat, kemudian yang dekat, karena negara-negara Islam adalah seperti satu negara” (Al-Ikhtiyarat : 311) Jihad ini dinamakan Jihad Difa’.
Ketiga : Apabila diperintah oleh Imam (Amirul Mukminin) untuk berperang.
Keempat : Apabila dibutuhkan, maka jihad menjadi wajib. [Lihat al-Mughni, Al-Majmu’, Zaadul Mustaqni]

Adapun disyariatkan jihad melawan orang kafir (dengan tangan), melalui tiga tahapan.

Pertama : Diizinkan bagi kaum muslimin untuk berperang dengan tanpa diwajibkan. Allah berfirman.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” [Al-Hajj : 39]

Kedua : Perintah untuk memerangi setiap orang kafir yang memerangi kaum mulimin. Allah berfirman.

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Al-Baqarah : 190]

Ketiga : Perintah untuk memerangi seluruh kaum musyrikin sehingga agama Allah tegak di muka bumi.

“Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya ; dan ketahuiilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” [At-Taubah : 36]

Tahapan yang ketiga ini tidak dimansukh, sehingga menjadi ketetapan wajibnya jihad sampai hari kiamat. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata : “Marhalah (tahapan) yang ketiga ini tidak dimansukh, tetap wajib sesuai dengan kondisi kaum muslimin” [Fadlu Al-Jihad Wal Mujahidin, 2 : 440]

Demikian secara singkat hakikat jihad berserta tahapan-tahapan perintah tersebut. semua ini harus dipahami oleh kaum muslimin, sehingga dalam menetapkan jihad, sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Wallahu a’lam

Video

Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954

Muqaddimah



Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954

Sengketa di perbatasan negeri berlaku di merata dunia sepanjang masa. Bukan sedikit tentera dan orang awam terkorban sebelum Bukit Golan jatuh ke tangan Israel, India dan Pakistan berbalah hingga ke saat ini bagi mengesahkan hak ke atas Kashmir. Demikian juga halnya dengan isu Patani, Mindanao, Aceh, Timor Timur, Pulau Batu Putih, Pulau Layang-layang dan Spratly yang turut dituntut oleh Malaysia. Bukit Golan yang subur, Kashmir yang indah kepada pelancong, Spratly yang strategik bagi ketenteraan dan dikatakan sarat dengan petroleum di perut buminya, tapak Masjid Babri kerana sentimen agama terdahulu – semua ini menjadi alasan bagi sengketa, perbalahan dan perebutan.

Siri ini akan memberi tumpuan ke atas konflik sempadan yang berlaku di beberapa wilayah di rantau Asia Tenggara, bermula dengan konflik di Patani. Kajian dan perbahasan dalam siri ini diharap akan menumbuhkan sosok baru dalam kajian sejarah Malaysia dan serantau.

Nik Anuar Nik Mahmud. 1999. Sejarah Perjuangan Melayu Patani,

Buku ini diabadikan kepada pejuang-pejuang Melayu Patani, khususnya

almarhum Tengku Mahmood Mahyideen dan Tuan Guru Haji Sulung yang

telah berusaha dengan gigih untuk mempertahankan agama bangsa dan tanah air ini.

Semenjak Pemerintahan Beraja Melayu dihapuskan pada tahun 1902, orang Melayu Patani berada dalam keadaan tertekan dan daif. Seperti yang diungkap oleh W.A.R. Wood, orang-orang Melayu telah menjadi mangsa sebuah pemerintahan yang 'misgoverned'. Justeru, tidaklah hairan apabila kekacauan seringkali berlaku di wilayah selatan antara tahun 1910 hingga 1923. Dalam masa pemerintahan Pibul Songgram (1939-44), orang Melayu telah menjadi mangsa dasar asimilasi kebudayaan atau dasar Rathaniyom.

Tindakan Pibul Songgram memihak kepada Jepun dalam Perang Dunia Kedua telah memberikan harapan kepada orang-orang Melayu Patani untuk membetulkan ketidakadilan yang dikenakan ke atas mereka oleh Perjanjian Bangkok (1909). Tengku Mahmood Mahyideen, seorang pegawai berpangkat Major dalam pasukan Force 136, pernah mengemukakan rayuan kepada pihak berkuasa British di India supaya mengambil alih Patani dan wilayah sekitarnya serta digabungan dengan Tanah Melayu. Harapan mereka bertambah cerah apabila kuasa-kuasa besar dalam persidangan di San Francisco pada bulan April 1945 telah berjanji akan membantu untuk membebaskan mana-mana negeri yang terjajah berasaskan prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination)

Pada 1 November 1945, sekumpulan pemimpin Melayu Patani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalal, bekas wakil rakyat wilayah Narathiwat, telah mengemukakan petisyen kepada Kerajaan British merayu supaya empat wilayah di Selatan Siam dibebaskan daripada ‘penjajahan’ Siam. Pendirian British terhadap Siam bagaimanapun berubah apabila Peperangan Pasifik tamat. Keselamatan tanah jajahan dan kepentingan British di Asia Tenggara menjadi pertimbangan utama kerajaan British dalam penggubalan dasarnya terhadap Siam atau pun Patani. Kerajaan British juga memerlukan kerjasama Siam bagi mendapatkan bekalan beras bagi keperluan tanah jajahannya. Tidak kurang pentingnya kerajaan British terpaksa menyesuaikan dasarnya terhadap Siam dengan tuntutan Amerika Syarikat yang mahu mengekalkan wilayah Siam seperti dalam tahun 1941.

Kebangkitan Komunis di Asia Tenggara selepas perang juga menjadi faktor pertimbangan British dalam menentukan dasarnya. Kerajaan British menganggap Siam sebagai negara penampan terhadap ancaman Komunis Cina. Justeru, Kerajaan British mahu pastikan Siam terus stabil dan memihak kepada Barat dalam persaingan dengan negara-negara Komunis. Kebangkitan Komunis di Semenanjung Tanah Melayu pada bulan Jun 1948 memerlukan British mempertingkatkan lagi kerjasama dengan Siam bagi menghapuskan kegiatan pengganas-pengganas Komunis di perbatasan Siam-Tanah Melayu. Oleh kerana itu Isu Patani dianggap sebagai penghalang ke arah kerjasama sempadan yang berkesan untuk British dengan Siam.

Selepas persidangan Songkhla pada awal bulan Januari 1949, pihak berkuasa British di Tanah Melayu mula mengambil tindakan ke atas kegiatan GEMPAR di Semananjung Tanah Melayu. Tengku Mahmood Mahyideen, seorang pemimpin utama Melayu Patani, telah ditekan oleh pihak berkuasa British di Tanah Melayu manakala Tuan Guru Haji Sulung telah ditangkap oleh pihak berkuasa Siam atas tuduhan subversif. GEMPAR, sebuah pertubuhan politik masyarakat Melayu Patani di Semenanjung juga telah disekar aktivitinya. Akibat daripada tekanan tersebut, gerakan Melayu Patani mula lemah dan goyah. Sungguhpun begitu, perjuangan Tengku Mahmood Mahyideen dan Tuan Guru Haji Sulung telah diteruskan generasi muda Patani. Dalam tahun 1960-an, beberapa pertubuhan pembebasan telah ditubuhkan bagi memperjuangkan kemerdekaan Patani melalui perjuangan bersenjata. Perjuangan itu bagaimana-pun masih belum menempa sebarang kejayaan.

Tumpuan buku ini ialah tentang perjuangan orang Melayu Patani dalam usaha membebaskan Patani daripada cengkaman pemerintahan Siam dan mencantumkannya dengan Tanah Melayu. Kajian ini meninjau reaksi Britain dan Siam terhadap gerakan tersebut.

Dalam menyiapkan buku ini penulis banyak mendapat pertolongan daripada pelbagai pihak. Saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mendiang Dr. David K.Bassett, bekas Pengarah, Pusat Kajian Asia Tenggara di University of Hull, England, kerana bimbingan dan teguran yang sangat berharga semasa penulisan draf buku ini. Tidak ketinggalan juga penghargaan untuk rakan-rakan di Jabatan Sejarah, UKM yang turut memberi tunjuk ajar. Saya juga terhutang budi kepada Public Record Office, Kew serta Perpustakaan Tun Seri Lanang, UKM atas kerjasama yang diberi kepada penulis semasa menjalankan penyelidikan. Saya juga merakamkan ucapan terima kasih kepada Penerbit UKM atas penerbitan buku ini.

Jabatan Sejarah
Universiti Kebangsaan Malaysia
Bangi


Kerajaan Melayu Patani

Sejarah awal Kerajaan Melayu Patani masih lagi diselimuti kekaburan.Dalam catatan sejarah tidak dapat dipastikan asal-usul atau tarikh sebenar kerajaan Melayu Patani didirikan. Mengikut catatan pelawat-pelawat China yang membuat perhubungan dengan negeri-negeri Asia Tenggara pada abad kedua Masehi sebuah negeri bernama "Lang-ya-shiu" atau Langkasuka (Paul Wheatley 1961, 387-412) sudahpun wujud ketika itu.

Berpandukan catatan tersebut ahli-ahli sejarah Eropah percaya bahawa negeri Langkasuka yang terletak di pantai timur Semenanjung Tanah Melayu antara Senggora (Songkhla) dan Kelantan itu adalah lokasi asal negeri Patani. Adalah dipercayai bahawa ibu negerinya pada masa itu terletak di sekitar daerah Yarang. Patani adalah sebuah kerajaan yang termaju di Semenanjung Tanah Melayu dan sebuah pelabuhan yang penting sejak kurun ke-8 Masehi kerana Teluk Langkasuka (Teluk Patani sekarang) sangat sesuai dijadikan tempat kapal-kapal dagang berlabuh dan berlindung daripada ribut tengkujuh.

Paul Wheatly menjelaskan bahawa kerajaan Langkasuka menguasai jalan perdagangan timur-barat melalui Segenting Kra dan kekuasaannya meliputi kawasan Semenanjung sehingga ke Teluk Benggala. Kerajaan Melayu Langkasuka wujud sehingga menjelang abad ketiga belas dan diganti oleh Kerajaan Melayu Patani.

Persoalan bagaimana Langkasuka bertukar menjadi Patani masih belum dapat dipastikan oleh para pengkaji sejarah kerana tidak ada sebarang cacatan sejarah yang jelas mengenainya. A.Teeuw dan Wyatt berpendapat bahawa Patani telah ditubuhkan sekitar pertengahan abad ke-14 dan ke-15. Pendapat mereka berasaskan kepada tulisan Tomes Pires dan lawatan Laksamana Cheng Ho ke rantau ini dalam tahun 1404-1433 T.M. (Teeuw & Wyatt 1970,3). Mengikut Hikayat Patani pula, Kerajaan Melayu Patani berasal dari kerajaan Melayu yang berpusat di Kota Mahligai yang diperintah oleh Phya Tu Kerab Mahayana (Teeuw & Wyatt 1970,68).

Oleh kerana kedudukan Kota Mahligai itu terlalu jauh ke pedalaman dan sukar untuk didatangi olehpedagang-pedagang telah menyebabkan Phya Tu Antara, anak Phya Tu Kerab Mahayana, memindahkan pusat kerajaannya ke sebuah perkampungan nelayan yang kemudiannya diberi nama "Patani", dipercayai berpusat di Kampong Grisek dalam wilayah Patani sekarang ini.

Kedudukan Patani di Semenanjung Siam yang strategik dari segi geografi, telah menyebabkan kota itu menjadi tumpuan pedagang-pedagang asing baik dari barat atau timur untuk singgah sama ada untuk beristirahat ataupun berdagang. Dalam masa yang singkat saja Patani telah muncul sebagai sebuah kerajaan yang penting, maju dari segi ekonomi serta stabil dari segi politik dan pemerintahan. Dasar perhubungan antarabangsanya yang baik telah menyelamatkan Patani daripada jatuh kepada penjajah-penjajah Siam, Portugis dan Belanda.

Agama Islam juga telah membawa angin perubahan yang bermakna kepada Patani. D’ Eredia, seorang pelawat Portugis, telah menulis dalam tahun 1613 bahawa Islam telah bertapak di Patani lebih awal daripada Melaka (Mills 1930). Dalam hal ini, Teeuw dan Wyatt berkeyakinan bahawa Islam telah bertapak di Kuala Berang, Terengganu, iaitu pada sekitar 1386- 87 T.M. (Teeuw & Wyatt 1970, 4). Phya Tu Antara, yang memeluk Islam melalui seorang ulama dari Pasai, Syeikh Said, telah menukar namanya kepada nama Islam iaitu Sultan Ismail Syah Zillullah Dil Alam (Teeuw &Wyatt 1970, 68-69). Semenjak itu, Patani telah menjadi tumpuan saudagar-saudagar Islam dan menjadikannya sebagai pusat perdagangan Timur-Barat yang terkenal di rantau ini. Patani bertambah maju apabila Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511.







Patani Diserang oleh Kerajaan Chakri

Selepas Phya Taksin berjaya mengalahkan Burma di Ayuthia dalam tahun 1776, Siam telah menumpukan pula perhatiannya ke atas negeri-negeri di selatan semenanjung yang telah mengisytiharkan diri semasa perang Burma-Siam dahulu. Negeri-negeri di Selatan Semenanjung iaitu Ligor, Songkhladan Pattalung telah diserang oleh Siam. Keadaan ini menyebabkan raja negeri-negeri tersebut terpaksa mencari perlindungan di Patani. Oleh kerana pemerintahnya, terpaksa tunduk kepada desakan Siam supaya raja-raja tersebut diserah kepadanya. Pada tahun 1779, Sultan Muhammad pula telah dipaksa memberi bantuan kepada Siam untuk menentang Burma. Apabila Sultan Muhammad enggan membuat demikian, Phraya Chakri telah memerintah adiknya, Putera Surasi, dengan dibantu oleh Phraya Senaphutan, Gabenor Pattalung, Palatcana dan Songkhla supaya menyerang Patani pada tahun 1785 (Gresick 1976, 127; Thadeus & Chadin Flood 1978, 15 dan Wenks 1968,101). Walaupun kerajaan Melayu Patani cuba mempertahankan diri tetapi Siam telah berjaya menguasai Patani pada tahun berikutnya.

Sultan Muhammad pula telah syahid dalam pertempuran dengan pihak Siam (Light 1786)1 . Akibat kekalahan itu, seramai 4,000 orang Melayu Patani telah dijadikan tawanan dan dibawa ke Bangkok sebagai hamba tebusan.Berikutan kejatuhan Patani itu, Tengku Lamidin, Raja Bendang Badan,telah dilantik oleh Siam sebagai Raja Patani yang baru. Tengku Lamidin bagaimanapun tidak lama berkuasa. Dalam tahun 1791, Tengku Lamidin telah bersatu dengan Raja Annam yang beragama Islam, Okphaya Cho So, dan memberontak serta menyerang kedudukan tentera Siam di Tiba, Chanak, Songkhla dan Saiburi.Dalam kebangkitan itu, Tengku Lamidin telah dibantu oleh Sheikh Abdul Kamal, seorang ulama berasal dari Mekah, tetapi gagal (Teeuw & Wyatt 1970, 23).Kemudian pihak Siam, atas cadangan Ligor, telah melantik Datuk Pengkalan sebagai Raja Patani. Pada tahun 1808 Datuk Pengkalan juga bangkit menentang Siam. Walau bagaimanapun, pemberontakan itu juga telah dapat dipatahkan oleh Siam setelah mendapat bantuan kerajaan pusat di Bangkok Kerajaan Melayu Patani telah dipecahkan kepada tujuh buah negeri atau hua muang untuk melemahkan orang Melayu Patani.

Di tiap-tiap buah negeri itu, telah dilantik seorang raja atau chao muang di bawah pengawasan Songkhla. Dengan perubahan ini, maka berakhirlah keagungan Kerajaan Melayu Patani. Kini Kerajaan Melayu Patani hanyalah salah sebuah dari negeri yang baru dibentuk. Tujuh buah negeri tersebut dan raja-raja pemerintahnya adalah seperti berikut (Bonney, R 1971, 79).:


Patani - Tuan Sulung
Teluban - Nik Dir
Nongchik - Tuan Nik
Jalor - Tuan Yalor
Jambu - Nai Pai
Rangae - Nik Dah
Reman - Tuan Mansur

Dengan memecahkan kerajaan Melayu Patani, kerajaan Siam percaya mereka dapat melemahkan orang Melayu Patani daripada bangkit menentang.Sejajar dengan itu arahan raja telah dikeluarkan kepada raja-raja negeri Melayu bahawa hukuman mati ataupun penjara akan dikenakan terhadap mana-mana raja, termasuk keluarga mereka, sekiranya mereka memberontak atau menderhaka. Untuk mengukuhkan lagi penguasaannya ke atas negeri-negeri Melayu, kerajaan Siam telah melantik Raja Jambu, Nai Rai, seorang berketurunan Siam, sebagai wakil kerajaan pusat bagi mengawasi raja-raja di negeri lain. Sementara itu, kerajaan Siam juga memindahkan orang-orang Siam ke negeri-negeri tersebut dengan tujuan mengimbangkan penduduk yang berketurunan Melayu.

Pada tahun 1821, Siam menyerang pula Kedah dan memaksa Sultan Abdullah melarikan diri ke Pulang Pinang (Rahmat Saripan 1979, 83). Kekuasaan Siam ke atas negeri-negeri Melayu tersebut telah diakui oleh British seperti mana terbukti dengan termeterainya Perjanjian Burney dalam tahun 1826.

Dari tahun 1817 hingga tahun 1842, Patani telah diperintah oleh sekurang-kurangnya dua orang Raja Melayu. Orang yang pertama memegang jawatan itu ialah Tuan Sulong, anak Raja Bendahara Kelantan, Long Jenal. Baginda telah memegang jawatan itu sehingga tahun 1832 apabila baginda disingkirkan kerana terlibat dalam kebangkitan anti-Siam dalam tahun 1831. Berikutan penyingkiran itu, pihak Siam melantik pula Nik Yusof, yang berasal dari Grisek, sebagai Raja Patani. Semasa berlakunya kebangkitan anti-Siam dalam tahun 1838, Nik Yusof tidak terlibat. Dalam tahun 1842, Nik Yusof dilantik menjadi Raja Jering berikutan kematian Nai Him Sai. Bagi mengisi kekosongan itu, Siam melantik Tuan Besar Tun Ahmad, Raja kampong Laut dan bekas Perdana Menteri Kelantan sebagai Raja Patani. Sejak itu sehingga 1902, Patani telah diperintah oleh Tuan Besar dan keturunannya.



Kerajaan Melayu Patani di Bawah Keluarga Tuan Besar

Di antara ketujuh-tujuh buah negeri Melayu bekas kerajaan Melayu Patani,negeri Melayu Patani adalah yang paling berpengaruh. Dari tahun 1842 sehingga 1902, negeri Patani telahdiperintah oleh keturunan Tuan Besar Tuan Ahmad, bekas Perdana Menteri Kelantan dan juga Raja Kampung Laut semasa Kelantan di bawah pemerintahan Long Jenal (1837-39) (Rahmat Saripan 1979, 72-73). Perlantikan Tuan Besar sebagai Raja Patani dalam tahun 1842 itu mempunyai kaitan dengan pergolakan politik di Kelantan dalam tahun 1838-39 yang dikenali sebagai Peperangan Saudara II.

Peperangan saudara itu berpunca daripada perebutan takhta antara Long Senik Mulut Merah atau Sultan Muhammad II dengan Tuan Besar Tun Ahmad, Raja Kampung Laut. Walaupun telah diiktiraf sebagai Sultan oleh Siam, Sultan Muhammad II masih curiga di atas kehadiran Tuan Besar dalam politik Kelantan. Baginda menganggap Tuan Besar sebagai pencabar utama terhadap kedudukannya sebagai Sultan kerana hubungan rapat Tuan Besar dengan Long Jenal, musuh politiknya. Pada pendapat Sultan Muhammad II,selagi Tuan Besar tidak disingkirkan dari Kelantan maka selama itu kedudukan baginda di atas takhta belum kukuh. Justeru, tidaklah hairan Sultan Muhammad II mengetepikan Tuan Besar daripada memegang sebarang jawatan penting dalam kerajaan. Walaupun ada ura-ura untuk melantik Tuan Besar sebagai Raja Bendahara namun tidak ada bukti menunjukkan bahawa jawatan itu pernah ditawarkan kepada Tuan Besar secara rasmi. Sebaliknya, sepanjang tempoh pemerintahan Sultan Muhammad II, jawatan itu dipegang oleh mereka yang bukan daripada kalangan kerabat diRaja (Rahmat Saripan 1979, 115). Di samping itu, hak Tuan Besar ke atas Kampung Laut juga dikatakan telah dihapuskan oleh Sultan. Keadaan ini akhirnya mencetuskan penentangan bersenjata secara terbuka di antara Sultan Muhammad II dengan Tuan Besar.

Kedua-dua belah pihak telah meminta pihak berkuasa Siam untuk campur tangan supaya menyebelahi mereka. Pada pertengahan tahun 1839, Phraya Phipath telah menghantar wakilnya ke Kelantan untuk mendamaikan konflik yang berlaku di antara kedua-dua pihak tetapi gagal. Pada 7 Julai 1839, Siam sekali lagi telah menghantar misi damai tetapi kali ini kedatangan misi itu telah disertai sebilangan anggota tentera Phraya Chaiya. Ketua misi itu telah memaksa kedua-dua pihak itu supaya berhenti berperang dan pergi ke Songkhla untuk menyelesaikan masalah masing-masing. Berikutan tekanan itu kedua-dua pihak berangkat ke Songkhla. Bagaimanapun, Tuan Besar telah diminta oleh Gabenor Songkhla pergi ke Bangkok untuk berunding dengan Raja Siam, Rama III (1824-51) mengenai masalah tersebut.

Dalam peristiwa tersebut pihak Siam lebih menyokong Sultan Muhammad II. Semasa Pemergian Tuan Besar ke Bangkok, Sultan Muhammad II, dengan disokong oleh Phraya Chaiya, telah melancarkan serangan ke atas kubu Tuan Besar dan menjelang bulan Ogos 1839, Sultan Muhammad II telah berjaya menumpaskan penentang-penentangnya.

Di Bangkok, Tuan Besar telah ditawarkan oleh Rama III jawatan sebagai Raja Patani sebagai satu penyelesaian politik terhadap masalah di Kelantan.Tawaran itu dibuat berikutan berlakunya kekosongan jawatan Raja negeri di Patani selepas Nik Yusuf, raja Patani, dilantik sebagai Raja Jering. Pada peringkat awalnya Tuan Besar agak keberatan untuk menerima tawaran itu tetapi setelah melihat kuasanya sebagai Perdana Menteri telah berkurangan dan ramai pula pengikutnya yang berpaling tadah, maka tawaran itu telah diterimanya. Pada pertengahan tahun 1842, Tuan Besar bersama pengikut-pengikutnya yang setia telah berangkat ke Patani. Dengan itu terdirilah wangsa Tuan Besar di Patani. Setelah disahkan oleh Rama III sebagai Raja Patani, Tuan Besar telah menukar namanya kepada Sultan Muhammad dan memakai gelaran Phya Pipik Pakdi. (Ibrahim Syukri) Kebetulan dengan perlantikan baginda sebagai Raja Patani, Kerajaan Siam telah mengubah dasar pentadbirannya terhadap negeri-negeri Melayu. Kerajaan Siam telah memberikan kuasa mentadbir tanpa campur tangan daripada pegawai-pegawai Siam. Raja-Raja Melayu hanya dikehendaki menghantar bunga Emas dan Perak setiap tiga tahun sekali ke Bangkok serta berikrar tidak akan menderhaka kepada kerajaan Siam.

Perubahan dasar Siam terhadap negeri-negeri Melayu dewasa itu mempunyai hubungan rapat dengan dasar kerajaan Rama III yang ingin mengekalkan keamanan dan keselamatan negeri Siam itu sendiri. Sebagaimana ditegaskan oleh Mills, Rama III menyedari bahawa ‘...there was no profit to be obtained from governing as a Siamese province a distant state whose inhabitants were resolved not to submit to alien rule. The experiments had been tried for twenty years, and the only result had been a constant series of rebellions’. (Mills 1960,34).

Ekoran berlakunya kebangkitan anti-Siam dalam tahun 1838, Rama III pernah menerima surat daripada Bonham, Gabenor Negeri-Negeri Selat mengingatkan bahawa ‘. . . the company had grown weary of bolstering up their (Siamese) power in Kedah. Should another revolt occur, the Straits Government had been ordered not to assist in its suppression’. (Mills 1960, 192-93). Menurut Nantawan Haemindra, seorang sejarawan Thai, perubahan dasar itu adalah suatu langkah yang berkesan dalam mengelakkan perasaan tidak puas hati dan kekacauan di Wilayah itu. Perlantikan elit tempatan sebagai Gabenor di tujuh buah wilayah tersebut telah mempertingkatkan lagi kemantapan politik Siam di kesemua negeri ufti tersebut (Nantawan Haemindra 1960). Sejak itu hingga ke beberapa dekad kemudiannya keamanan telah wujud di negeri-negeri Melayu Patani dan Kedah.



Berakhirnya Pemerintahan Beraja Melayu Patani

Sepanjang pemerintahan Sultan Muhammad (1842-56) dan dua orang penggantinya, Tengku Puteh (1856-81) dan Tengku Besar (1881-90), Negeri Patani berada dalam keadaan aman. Kerajaan Siam masih membenarkan Raja-Raja Melayu menguruskan pentadbiran dalam negeri. Bagaimanapun semasa Patani berada di bawah pemerintahan Tengku Sulaiman Syarifuddin (1890-98), Chulalongkorn, Raja Siam, mula merancang untuk menyusun semula pentadbiran wilayah mengikut sistem Thesaphiban. Di bawah peraturan ini, kerajaan negeri tidak lagi mempunyai kuasa otonomi dan dengan itu juga Raja-Raja Melayu akan kehilangan kedaulatan mereka. Tindakan kerajaan Siam itu telah mencetuskan konflik di antara Raja-Raja Melayu Patani dengan kerajaan Siam sehingga membawa kepada penahanan Tengku Abdul Kadir Kamaruddin, Raja Patani, pada tahun 1902.

Pada 18 Januari 1896, Chulalongkorn memberitahu Putera Damrong, Menteri Dalam Negeri Siam, betapa pentingnya pentadbiran wilayah disusun semula. Antara lain baginda menegaskan If we do not put our administration in order, we will not have enough income, which is the source of the power needed to defend the country. The expansion of the earnings which result from the facilitation of the people’s methods of earning their livelihood and making a living out of the produce of the soil. The strengthening and the retionalization of the administration and the development of the economy are therefore the ultimate aims of this kingdom (Tej Bunnag 1977, 91).

Terdapat beberapa sebab yang jelas mengapa kerajaan Siam membuat keputusan mengubah dasar pemerintahannya terhadap negeri-negeri Melayu. Perubahan dasar pemerintahan Siam ini mempunyai pertalian rapat dengan pengolakan yang berlaku di rantau Asia Tenggara dalam tahun-tahun 1890-an (Iraklein 1968, 52-68; Chandran 1971, 143-59). Kehadiran kuasa-kuasa penjajah dengan dasar imperialisma mereka di Asia Tenggara telah menimbulkan kebimbangan Siam terhadap keutuhan wilayahnya, terutamanya wilayah-wilayah yang terpencil dari kawalan kerajaan pusat di Bangkok seperti negeri-negeri Melayu di Selatan Siam. Kerajaan Siam khuatir sekiranya wilayah-wilayah ini tidak disatukan di bawah kekuasaan Siam kemungkinan besar wilayah-wilayah tersebut akan dikuasai oleh kuasa-kuasa Barat.

Dalam tahun-tahun 1890-an, kuasa-kuasa Perancis dan British berlumba-lumba meluaskan kawasan jajahan masing-masing di rantau ini. Perlumbaan mereka telah sampai ke kemuncaknya pada tahun 1893 (Claire Hirshfield 1968, 35-38). Perancis berjaya mencapai matlamatnya di timur Sungai Mekong dengan menggunakan kekerasan ke atas Siam, manakala British pula menumpukan perhatian ke kawasan di timur laut Burma dan selatan China, dan juga di negeri-negeri Melayu Utara sehingga ke Segenting Kra. Walaupun pihak British menghormati kemerdekaan dan kedaulatan wilayah Siam namun sejak tahun-tahun 1890-an lagi perwakilan British di Tanah Melayu telah mendesak supaya pengaruh British diperluaskan ke negeri-negeri Melayu utara sehingga ke Segenting Kra (Ira Klein 1968, 62-68; Chandran, J 1971,143-59). Pada tahun 1896, setelah Frank Swettenham menjadi Residen-Jeneral yang pertama bagi negeri-negeri Melayu Bersekutu, kempen untuk menggabungkan Negeri-negeri Melayu utara itu dengan jajahan British semakinrancak.

Keadaan semakin bertambah genting dengan termeterainya pengisytiharan British-Perancis pada 15 Januari 1896 (Chandran, J 1970, 105-120).Pengisytiharan itu hanya memperakui kedaulatan wilayah Siam di Lembah Chao Phraya sahaja dan tidak menyentuh tentang keadaan di Negeri-negeri Melayu utara. Sungguhpun pengisytiharan itu memperakui kedaulatan wilayah Siam di Lembah Chao Phraya, Siam bimbang kerana syarat tersebut tidak menghalang Peranchis atau British mengambil tindakan yang sewajarnya untuk menggugat kemerdekaan kerajaan Siam. Jelas di sini bahawa pengisytiharan itu tidak menjamin kemerdekaan dan keutuhan wilayah Siam tetapi memberi peluang kepada kerajaan Siam untuk merombak sistem pentadbiran wilayah.

Cadangan Chulalongkorn itu telah disokong oleh Putera Damrong, Menteri Dalam Negeri. Selepas membuat beberapa tinjauan mengenai sistem pentadbiran wilayah, Putera Damrong mencadangkan kepada Chulalongkorn supaya pentadbiran wilayah disusun semula mengikut Sistem Thesaphiban (Nantawan Haemindra 1976). Di bawah Sistem Thesaphiban, pentadbiran wilayah akan disusun dan dikumpulkan ke dalam satu unit yang dikenali sebagai Monthon. Tiap-tiap Monthon ditadbir oleh seorang Pesuruhjaya Tinggi (Khaluang Thesaphiban) yang bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri. Di bawah sistem ini juga, semua kakitangan kerajaan dari peringkat atas sehingga ke peringkat bawah dibayar gaji mengikut skim kebangsaan.

Setelah memperoleh persetujuan daripada Chulalongkorn, dalam bulan Mei 1897, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Akta Pentadbiran Daerah (Phraratchabanyat laksana pakkhrong thongthi) (Tej Bunnag 1977, 118). Pada bulan Februari 1899, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan pula Peraturan Mengenai Pentadbiran Wilayah (Kho bangkhap pokkhrong huamung).

Peraturan tersebut memberi kuasa kepada Kementerian Dalam Negeri untuk melumpuh dan menghapuskan "whatever remained of the provincial administration independent existence". Di bawah peraturan ini, jawatan raja Negeri ataupun Gabenor tidak lagi bersifat ‘semi-hereditary’. Raja Siam diberi kuasa untuk melantik atau melucut Raja Negeri atau Gabenor. Raja Negeri tidak lagi mempunyai kuasa untuk menjatuhkan hukuman mati (phu samret ratchakan) di peringkat negeri. Mereka juga hanya dianggap sebagai seorang pegawai kerajaan (phu wa ratchakan).Peraturan ini juga melucutkan beberapa keistimewaan yang ada pada Raja-raja negeri. Raja-raja tidak lagi mempunyai kuasa untuk melantik pegawai-pegawai kanan kerajaan kecuali Pendakwaraya (yokkrabat) dan Pegawai Hasil (phu chuai) sahaja. Sungguhpun begitu, sebelum sebarang perlantikan dibuat, Raja negeri hendaklah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan atau kebenaran Pesuruhjaya Tinggi Wilayah yang berkenaan.Sebaliknya, Pesuruhjaya Tinggi wilayah diberi kuasa untuk melantik lima orang pegawai, dua daripadanya ialah penolong Gabenor dan Timbalan Gabenor.

Di samping itu, Raja-Raja Negeri juga kehilangan sebahagian daripada hasil negeri. Mereka juga tidak dibenarkan melibatkan diri dalam perniagaan ataupun memajakkan cukai (tax-farms). Mereka tidak dibenarkan mempunyai pendapatan sampingan selain daripada gaji yang dibayar oleh Kerajaan pusat. Peraturan itu juga menegaskan bahawa Gabenor bertanggungjawab kepada Pesuruhjaya Tinggi. Gabenor tidak mempunyai kuasa ke atas kakitangan bawahan. Sebarang tindakan yang diambil oleh Gabenor hendaklah dilaporkan kepada Pesuruhjaya Tinggi Wilayah dalam masa tujuh hari selepas tindakan itu diambil.

Jika dilihat pada Peraturan 1899, jelas menunjukkan bahawa peraturan ini bertujuan melumpuhkan kekuasaan Raja negeri dan dengan demikian menguatkan lagi cengkaman kerajaan pusat ke atas pentadbiran wilayah.Dengan peraturan ini pihak berkuasa di Bangkok berharap ia akan dapat mengawal wilayah-wilayah luar khasnya daripada gangguan pihak asing

Proses pelaksanaan Peraturan 1899 ini akan dijalankan secara berperingkat-peringkat.Putera Damrong tidak mahu pelaksanaan reformasi pentadbiran ini menimbulkan tanggapan negatif kuasa-kuasa Barat, khususnya British, bahawa pihak Siam sedang berusaha menyekat pengaruh mereka di wilayah-wilayah tersebut. Putera Damrong pernah mengingatkan kakitangan pentadbirannya tentang pentingnya mengekalkan hubungan baik dengan British kerana kerajaan Siam perlukan sokongan pihak British bagi membendung ancaman Perancis (Tej Bunnag 1977, 138-39). Di samping itu beliau juga tidak mahu menggunakan paksaan ke atas raja-raja negeri supaya menerima peraturan baru itu. Beliau bimbang tindakan semacam itu akan hanya ‘…alienate the provincial nobility and make them run to the foreigners’. Berdasarkan prinsip ini, Putera Damrong memulakan usaha ke arah penyusunan semula sistem pentadbiran di wilayah-wilayah luar.



Pertelingkahan Raja Patani dan Pesuruhjaya Siam

Sebelum peraturan sistem pentadbiran baru wilayah digubal, kerajaan Siam telah pun berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya di negeri-negeri Melayu. Sebaik saja termeterainya Pengisytiharan British-Perancis pada 15 Januari 1896, Kerajaan Siam mula menghantar Pesuruhjaya Siam untuk berkhidmat di negeri-negeri Melayu. Pesuruhjaya Siam yang pertama bagi Patani ialah Phya Sukhum. Dalam surat kepada Tengku Sulaiman Syarifuddin, Chulalongkorn memaklumkan bahawa: I send this Commissioneer in order that if you had any trouble in administering your people you may call him to advise you as to the best means of doing it’. Chulalongkorn, bagaimanapun, tidak memaklumkan baginda tentang rancangan Kerajaan Siam untuk menyusun semula sistem pentadbiran di negeri-negeri Melayu itu. Dengan itu, bukanlah sesuatu yang aneh apabila Sistem Thesaphiban mula dilaksanakan, raja-raja Melayu menentang. Ekoran daripada itu, raja-raja Melayu menuntut supaya negeri-negeri Patani dipisahkan daripada sistem pentadbiran Siam.

Sewaktu Phya Sukhum dilantik sebagai Pesuruhjaya di Patani, kerajaan Siam baru sahaja menandatangani perjanjian Sulit (1897) dengan kerajaan British berhubung kedudukan wilayah-wilayah Melayu di selatan Semenanjung. 2 Perjanjian Sulit Siam-British itu memberi peluang kepada kerajaan Siam untuk melaksanakan sistem pentadbiran baru di negeri-negeri Melayu.

Sementara peraturan pentadbiran baru digubal, beberapa langkah pentadbiran telah diambil oleh Phya Sukhum, Pesuruhjaya Siam, bagi mengukuhkan kekuasaan Siam di Patani. Langkah awal yang telah diambil oleh Phya Sukhum ialah memperkenalkan cara baru dalam pengutipan cukai. Sistem pemajakan candu (opium-farming) dan spirit telah disusun semula (Tej Bunnag 1977, 140). Hasil kutipan itu disatukan dan dibahagi dua, iaitu separuh untuk raja-raja Melayu dan separuh lagi untuk kerajaan Negeri. Cadangan Phya Sukhum itu telah ditolak oleh raja-raja Melayu kerana mereka menganggap kuasa memungut cukai ataupun memberi kontrak candu itu adalah termasuk di bawah tanggungjawab mereka sebagai raja Negeri. Kerajaan Siam tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam bidang ini.

Tengku Sulaiman, sebagai mewakili raja-raja Melayu lain, telah mengemukakan bantahan kepada Raja Chulalongkorn terhadap tindak-tanduk Phya Sukhum tetapi telah ditolak oleh Raja Siam. Sebaliknya Raja Siam menyokong tindakan Phya Sukhum. Dalam jawapannya, Chulalongkorn menegaskan bahawa langkah yang diambil oleh Phya Sukhum itu adalah menguntungkan kerana;If all the seven states had one farm instead of seven separated farms the revenue would be large so that the states would be better. The revenue would be divided among the seven Rajahs in proportion.

Pada tahun pertama sistem pemajakan candu bersama itu dijalankan, raja-raja Melayu masih menerima bahagian masing-masing hasil kutipan candu. Pada masa itu, jumlah penuh hasil candu dan spirit di ketujuh-tujuh buah negeri Patani itu ialah sebanyak $30,200.00 setahun. Bagaimanapun keadaan ini tidak kekal lama. Selepas kemangkatan Tengku Sulaiman dalam tahun 1898, Kerajaan Siam tidak lagi membuat bayaran kepada Raja Muda Tengku Abdul Kadir Kamaruddin sungguhpun kontrak pajakan itu masih berkuatkuasa selama dua tahun lagi. Tengku Abdul Kadir telah merayu kepada kerajaan Siam tetapi tidak dilayan oleh Bangkok. Phya Sukhum juga mengambil alih pengutipan cukai import dan eksport daripada kerajaan Negeri. Tindakan Phya Sukhum itu telah mencetuskan kemarahan Tengku Abdul Kadir, lebih-lebih lagi apabila kerajaan Siam melambat-lambatkan perlantikan baginda sebagai Raja Patani.

Selepas kemangkatan Tengku Sulaiman Syarifuddin, jemaah pembesar negeri telah sebulat suara melantik Tengku Abdul Kadir Kamaruddin, Raja Muda, sebagai Raja Patani yang baru. Di bawah peraturan lama, pembesar-pembesar Negeri diberi kuasa untuk menabal Raja Muda, sebagai Raja baru sebelum almarhum dimakamkan. Selepas pertabalan itu, pembesar-pembesar Negeri telah memaklumkan kepada Raja Siam bagi mendapatkan pengesahan ataupun sanyathet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nantawan Haemindra, ‘No ruler was ever officially recongnized as legitimate until he had received his insigniaof office from the King’. Chulalongkorn bagaimanapun menjawab bahawa surat pengesahan itu akan hanya dikeluarkan selepas setahun Tengku Abdul Kadir memangku jawatan Raja serta dapat pula membuktikan kebolehan baginda untuk mentadbir negeri itu.

Selepas dua tahun Tengku Abdul Kadir memangku jawatan Raja Patani, kerajaan Siam mengesahkan jawatan baginda. Surat pengesahan diserah sendiri oleh Raja Chulalongkorn semasa baginda melawat Patani.4 Surat itu, antaranya menyebut bahawa, We recognise Phra Pipit Pakdi as the Rajah of Patani with the title of Phya Wichit Pakdi. He had the right to govern the state of Patani with justice and just as his predecessors had governed. He may stop anything which is not right and force on anything which is right. He must be true with the Siamese government as his predecessors were in every respect. The officials of state of Patani must assist him.

Sungguhpun baginda telah diakui dengan sah sebagai Raja Patani tetapi keadaan itu tidak menyekat pesuruhjaya Siam dan pegawai-pegawainya daripada campur tangan dalam urusan pentadbiran dalam negeri Patani. Tindak-tanduk Pesuruhjaya Siam itu bukan saja menjejaskan kedaulatan dan kewibawaannya sebagai Raja Patani tetapi juga telah menimbulkan pelbagai masalah kepada penduduk-penduduk negeri itu. Pegawai-pegawai Siam dikatakan seringkali campur tangan dalam urusan keagamaan penduduk-penduduk tempatan.

Rayuan baginda kepada kerajaan Siam agar membetulkan keadaan tersebut telah menemui jalan buntu. Tengku Abdul Kadir tidak ada pilihan kecuali merayu kepada pihak berkuasa British di Singapura supaya campur tangan bagi mempertahankan serta memulihkan kewibawaanya sebagai Raja Patani yang berdaulat. Pada bulan Mei 1901, Tengku Abdul Kadir telah menghubungi Frank Swettenham, Gabenor Negeri-negeri Selat. 5 Kebetulan pula pada waktu itu Chulalongkorn berada di Singapura. Sungguhpun Frank Swettenham bersimpati dengan nasib yang menimpa Tengku Abdul Kadir, beliau tidak dapat membuat apa-apa tindakan memandangkan kerajaan British ingin mengekalkan hubungan dengan kerajaan Siam dan adalah tidak wajar bagi kerajaan British untuk campur tangan dalam masalah Patani. Beliau mencadangkan supaya Tengku Abdul Kadir mengadakan pertemuan dengan Chulalongkorn bagi menyelesaikan masalah yang dihadapinya itu. Tambahan pula negeri Patani berada di bawah naungan kerajaan Siam.

Walaupun begitu, ketika Chulalongkorn melawat Singapura pada bulan Julai 1901, Swettenham telah mengambil kesempatan daripada pertemuannya dengan baginda bagi membincangkan secara sepintas lalu tentang masalah pentadbiran di negeri-negeri Melayu utara khususnya yang berada di bawah naungan Siam. Swettenham memaklumkan Chulalongkorn bahawa pegawai-pegawai Siam di negeri-negeri tersebut tidak melayani Raja-raja negeri itu dengan baik. Justeru, hubungan antara Raja-raja Melayu dengan pihak berkuasa Siam tidak mesra. Beliau memberi kenyataan perbandingan bahawa di negeri-negeri di bawah naungan British, hasil yang dikutip oleh Residen British akan dibelanjakan untuk faedah negeri tersebut. 6 Tujuan Swettenham membangkitkan perkara itu adalah untuk menyindir secara tidak langsung dasar Siam terhadap negeri-negeri Melayu Patani.

Sikap negatif Swettenham terhadap rayuan Tengku Abdul Kadir telah memaksa baginda memilih alternatif lain bagi membebaskan negerinya daripada kongkongan Siam. Tengku Abdul Kadir telah mengadakan mesyuarat dengan Raja-raja Melayu lain di Istana Cabang Tiga bagi membincangkan langkah yang harus diambil bagi kepentingan negeri dan orang-orang Melayu.

Mesyuarat tersebut telah bersetuju untuk melancarkan pemberontakan sekiranya kerajaan Siam terus campur tangan dalam urusan negeri-negeri Melayu. Tengku Abdul Kadir berharap apabila mereka bangkit memberontak pihak Peranchis di Indochina pula akan menyerang di bahagian timur Siam dan dengan itu akan memaksa Siam memindahkan askar-askarnya ke sana.Apabila ini berlaku, raja-raja Melayu berharap tanah air mereka akan dapat dibebaskan daripada belenggu penjajahan Siam. Mereka merancang untuk memberontak pada akhir bulan Oktober, 1901 selepas bekalan senjatan dan peluru tiba dari Singapura.

Sementara itu, Tengku Abdul Kadir telah meminta R.W. Duff, bekas Ketua Polis Negeri-Negeri Selat, membantunya merancang pemberontakan itu. Baginda menerangkan bahawa rancangan itu terpaksa dilakukan bagi membebaskan rakyatnya daripada penindasan Siam. 9 Baginda tidak menafikan hak pertuanan Siam ke atas Patani bahkan bersedia bekerjasama dengan kerajaan Siam dalam semua aspek dengan syarat kerajaan Siam tidak akan menindas rakyatnya. Baginda juga memberitahu Duff tentang surat pengesahan baginda sebagai raja serta bidang kuasanya. Bagaimanapun baginda menegaskan bahawa ‘‘… the action of the Siamese authorities differed so entirely from the document’’,10 Baginda mengesyaki Raja Siam mungkin tidak mengetahui tentang keadaan itu memandangkan surat yang baginda tulis kepada Raja Siam tidak pernah dijawab. Oleh hal yang demikian baginda juga mengesyaki surat-surat itu telah digelapkan oleh pegawai-pegawai Siam yang mempunyai kepentingan di Patani. Baginda memberi amaran sekiranya kerajaan Siam tidak menyelesaikan masalah dalam negeri Patani dan negeri-negeri jirannya, ia tidak boleh dipersalahkan sekiranya ‘… he followed the advice of his people and seek redress by force of arms.’ Walaupun Duff tidak bersimpati dengan Siam tetapi beliau tidak bersetuju dengan rancangan Tengku Abdul Kadir untuk menyelesaikan masalah itu secara kekerasan. Pada pandangannya, tindakan seumpama itu bukan saja akan menjejaskan kepentingannya di negeri-negeri Melayu tetapi juga ‘… would bring about his own down fall and which would ruin many hundreds of his people.’

Duff menasihati Tengku Abdul Kadir supaya berusaha menyelesaikan masalah tersebut secara rundingan dan bukan secara kekerasan. Beliau mencadangkan supaya Tengku Abdul Kadir menghubungi mana-mana syarikat guaman di Singapura untuk membuat petisyen dikemukakan kepada kerajaan British. Dalam petisyen itu, Duff meminta Tengku Abdul Kadir menerangkan perasaan tidak puas hatinya. Sambil mengakui hak pertuanan Siam ke atas Patani, Tengku Abdul Kadir hendaklah merayu kepada kerajaan British agar menyampaikan aduannya kepada kerajaan Siam.

Nasihat Duff itu diikuti oleh Tengku Abdul Kadir dan pada 13 Ogos 1901, 11 baginda menghantar surat rayuan melalui syarikat guamannya kepada Swettenham untuk disampaikan kepada kerajaan British di London. Raja Saiburi, Raja Reman dan Raja Legeh juga turut menghantar surat rayuan kepada Swettenham dengan maksud yang sama.

Dalam surat rayuan itu, Tengku Abdul Kadir merayu agar kerajaan British campur tangan bagi menyelesaikan masalah yang ditanggung oleh baginda dan rakyatnya akibat daripada campur tangan kerajaan Siam dalam urusan negeri Patani. Rasa tidak puas hati itu, tegas Tengku Abdul Kadir, berputar di atas dua isu, iaitu campur tangan pegawai-pegawai Siam secara melulu dalam urusan pentadbiran negeri, khususnya dalam hal pengutipan cukai dan kedua dalam hal ehwal agama Islam. Baginda menekankan bahawa tindakan pegawai-pegawai Siam itu bertentangan dengan prinsip perhubungan antara negeri yang digariskan oleh Chulalongkorn sebagaimana yang terkandung di dalam surat pengesahan perlantikannya sebagai Raja Patani.

Baginda mengingatkan sekiranya dasar penindasan dan kezaliman pihak berkuasa Siam itu tidak diatasi, lambat laun ia akan menggugat ketenteraman serta kesejahteraan negeri Patani dan kemungkinan juga ketenteraman negeri-negeri Melayu utara yang lain. Akhir sekali, baginda mengingatkan bahawa sekiranya rayuan itu gagal dipertimbangkan oleh kerajaan British, baginda akan meminta bantuan dairpada kuasa-kuasa besar yang lain.

Surat Tengku Abdul Kadir dan Raja-raja Melayu yang lain telah mendapat perhatian khusus daripada Swettenham dan juga kerajaan British di London. Ugutan Raja Patani bahawa ia akan memberontak serta menghubungi kuasa-kuasa asing, sekiranya British enggan membantunya, telah memeranjatkan Frank Swettenham dan kerajaan British. Jika berlaku sebarang kebangkitan di Negeri-negeri Melayu Patani, bukan saja kepentingan perdagangan British akan terjejas tetapi juga akan memberi peluang kepada kuasa-kuasa asing lain, terutama sekali Jerman, untuk campur tangan dan bertapak di kawasan itu. Pada masa itu, Jerman sedang mencari tanah jajahan di Asia sebagai memenuhi dasar Weltpolitiknya. Kalau ini berlaku, kepentingan serta keselamatan British di rantau ini akan turut terancam. (lihat juga Chandran,J 1968; Numnonda, T 1965) Dengan itu, bukanlah menghairankan apabila Swettenham dengan segera mengadakan pertemuan dengan Tengku Abdul Kadir di Singapura dalam bulan Oktober, 1901. Swettenham menasihatkan Tengku Abdul Kadir supaya bersabar dan cuba mengelakkan daripada melakukan sebarang tindakan secara terburu-buru. Beliau memberi jaminan bahawa sekiranya baginda menurut nasihatnya, beliau akan berusaha untuk mendapatkan simpati kerajaan British bagi memulihkan semula kekuasaanya.

Atas jaminan itu, Tengku Abdul Kadir bersetuju menanguhkan rancangannya untuk memberontak. Sementara itu Swettenham telah mengharamkan eksport senjata api dari Singapura ke Negeri-negeri Patani. Pada masa yang sama, Swettenham memberitahu Pejabat Tanah Jajahan British tentang pergolakan yang berlaku di Patani dan ancaman Raja-raja Melayu untuk mendapatkan sokongan kuasa Eropah lain sekiranya kerajaan British enggan membantu mereka.

Sebaik saja menerima surat daripada Swettenham, Pejabat Luar British di London telah mengarahkan Menteri British di Bangkok, Archer, supaya berbincang dengan Putera Damrong tentang keadaan di Patani. Putera Damrong bersetuju menghantar timbalannya, Phya Sri Sahadhed ke Patani bagi membuat penyiasatan. Sebelum berangkat ke Patani, Phya Sri telah mengadakan perbincangan dengan Duff tentang keadaan di Patani. Phya Sri cuba mendapatkan pengesahan daripada Duff tentang perkhabaran yang beliau terima bahawa keadaan di Patani adalah genting dan kemungkinan besar kekacauan akan berlaku. Malah, Pesuruhjaya Siam di Patani telahpun meninggalkan negeri itu ‘‘… for fear of being attacked …’’ Duff bagaimanapun menafi dakwaan tersebut tetapi mengingatkan bahawa sekiranya kerajaan Siam tidak mengambil sebarang langkah untuk menyelesaikan perasaaan tidak puas hati Raja-Raja Melayu, kemungkinan besar rusuhan akan berlaku. Duff juga memberitahu bahawa:The Rajah of Patani had undoubtedly just cause for complaint, and that if these complaints, were not inquired into, it was possible that trouble might ultimately ensure but if proper inquiry were made ot the Rajah’s complaints, and with fair treatment, he would prove a most useful ally to the Siamese Government.’ Duff mencadangkan supaya Phya Sri mengadakan perbincangan dengan Raja-raja Melayu bagi mententeramkan keadaan. Beliau memberi jaminan bahawa raja-raja Melayu akan menerima kedatangan rombongan kerajaan pusat dengan baik.



Rundingan Tengku Abdul Kadir dengan Phya Sri Shadheb

Pada 23 Oktober, 1901, Phya Sri Shadhed serta rombongannya bertolak ke Patani melalui jalan laut. Setibanya di Patani, Phya Sri terus mengadakan pertemuan dengan Tengku Abdul Kadir di Istana Cabang Tiga. Dalam pertemuan itu Tengku Abdul Kadir memberitahu sebab-sebab mengapa Raja-Raja Melayu tidak puas hati dengan Pesuruhjaya Siam. Sejak kerajaan Siam menempatkan Pesuruhjaya Siam dan kakitangannya di Patani, kedudukan baginda sebagai Raja negeri telah terjejas dan rakyatnya pula terpaksa menanggung pelbagai masalah akibat daripada tindak-tanduk pegawai-pegawai Siam itu. Bagi mengatasi masalah itu, baginda mencadangkan supaya negeri Patani diberi kebenaran memerintah sendiri tanpa campur tangan Siam seperti Kedah. Sultan menduduki tempat yang tertinggi di dalam hierarki pentadbiran, undang-undang tempatan menjadi dasar pemerintahan dan Bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi.

Pada 24 Oktober, 1901, Phya Sri sekali lagi menghadap baginda Tengku Abdul Kadir dan kali ini beliau membawa bersamanya sepuncuk surat yang ditulis dalam bahasa Siam. Phya Sri meminta Tengku Abdul Kadir menandatangani surat itu yang dikatakan mengandungi segala aduan dan cadangan baginda untuk mengatasi masalah Patani. Surat itu akan diserahkan kepada Putera Damrong bagi mendapatkan pertimbangannya. Tengku Abdul Kadir enggan menandatangani surat itu kerana ia ditulis dalam bahasa Siam. Phya Sri memberi jaminan bahawa surat itu bukan merupakan surat perjanjian dan baginda tidak terikat dengan segala kandungannya. Sungguhpun begitu,Tengku Abdul Kadir masih lagi tidak mahu menandatangani surat itu. Akhir sekali, Phya Sri mengarahkan pegawainya sepaya menterjemahkan surat itu ke dalam bahasa Melayu untuk didengar oleh Tengku Abdul Kadir.

Selepas dibaca surat itu, Phya Sri sekali lagi memberi jaminan bahawa baginda tidak terikat dengan kandungannya. Baginda boleh membuat pindaan kemudian,yang difikirkannya perlu. Dengan jaminan itu, Tengku Abdul Kadir telah menurunkan tandatangannya. Selepas mendapatkan tandatangan itu Phya Sri dan rombongannya berangkat ke Teluban dalam perjalanannya ke Singapura. Di Singapura, Phya Sri telah memberitahu Swettenham dan Duff bahawa kononnya masalah ‘Raja Patani’ telah dapat diselesaikan kerana Tengku Abdul Kadir telah menerima peraturan pentadbiran hasil dari rundingan antara kedua belah pihak. Beliau juga menjangka kekacauan tidak mungkin lagi berlaku selepas tercapainya pesetujuan itu.

Bagaimanapun keadaanya agak berlainan sekali di Patani. Selepas Phya Sri meninggalkan Patani, Tengku Abdul Kadir telah meminta pegawainya menterjemahkan surat tersebut. Alangkah terkejutnya baginda apabila mendapati kandungan surat itu berlainan sekali dengan apa yang diterangkan oleh Phya Sri kepadanya. Memang benar bahawa surat itu ditujukan kepada Putera Damrong tetapi kandungannya menyatakan bahawa baginda telah bersetuju untuk menerima ‘undang-undang Pentadbiran tahun 116’ bagi dikuatkuasakan di negeri Patani. Sejajar dengan itu juga baginda bersetuju untuk menerima perlantikan seorang Setiausaha Kerajaan yang mempunyai kuasa muktamad dalam segala urusan negeri Patani. Menyedari bahawa baginda telah ditipu, Tengku Abduk Kadir dengan serta merta menghantar dua orang Pembesar Negeri, Wan Ismail dan Wan Muhammad, ke Singapura untuk memberitahu Timbalan Menteri Siam itu tentang kesilapan yang terdapat dalam surat itu. Selepas diberitahu oleh wakil Raja Patani, Phya Sri menyatakan persetujuannya untuk berjumpa dengan Tengku Abdul Kadir selepas perkara itu dibincangkan di dalam majlis perjumpaan Raja-raja Negeri di Nongchik pada 13 November 1901. Phya Sri juga meminta Tengku Abdul Kadir supaya tidak menghebohkan kejadian yang berlaku tempoh hari kepada Raja-Raja Melayu lain.

Tengku Abdul Kadir tidak hadir di mesyuarat yang telah diadakan di Nongchik pada 13 November, 1901 atas alasan sakit. Dengan berbuat demikian, bererti baginda tidak akan terikat dengan sebarang keputusan yang dibuat oleh Majlis tersebut. Di mesyuarat itu, Phya Sri telah mengemukakan ‘undang-undang pentadbiran tahun 116’ yang dirancang untuk dilaksanakan di negeri-negeri Melayu Patani. Beliau telah meminta Raja-Raja Melayu yang hadir mengesahkan peraturan itu. Di bawah peraturan pentadbiran itu tujuh buah negeri Patani akan dipecahkan kepada dua bahagian iaitu

1. Bahagian Sungai Teluban (Saiburi, Legeh dan Kelaba).

2. Bahagian Patani (Patani, Nongchik, Reman dan Jala).

Setiap bahagian itu akan dilantik seorang Residen-Jeneral, Setiausaha, Hakim, Bendahari dan Timbalan-timbalan mereka. Residen-Jeneral bertanggungjawab dalam menguruskan hal-ehwal dalam negeri sesuai dengan arahan Pesuruhjaya Tinggi. Residen-Jeneral juga mempunyai kuasa untuk memecat mana-mana pegawai kerajaan, selepas berunding dengan PesuruhjayaTinggi, termasuk juga memecat mana-mana Raja ataupun ketua Negeri, sekiranya mendapati mereka tidak menjalankan tanggungjawab mengikut peraturan yang ditetapkan. Residen-Jeneral juga mempunyai kuasa menghukum atau mendenda sebarang penjenayah tetapi tidak melebihi 100 tikal ataupun selama tiga bulan penjara. Residen-Jeneral juga berkuasa untuk membatalkan sebarang arahan yang dikeluarkan oleh Raja negeri yang dianggap bercanggah dengan Undang-undang Tubuh Siam.

Sungguhpun peraturan itu menetapkan bahawa Raja bertanggungjawab ke atas pentadbiran negeri tetapi baginda mestilah terlebih dahulu mendapatkan kelulusan Setiausaha Kerajaan dan juga Majlis Negeri sebelum mengeluarkan sebarang arahan. Bagaimanapun, Raja atau Setiausaha Kerajaan dan pegawai-pegawai lain tidak mempunyai kuasa untuk:

1. membuat sebarang undang-undang;

2. memberikan pajakan atau mengutip wang daripada penduduk-penduduk dalam apa bentuk sekalipun;

3. memberikan konsesi lombong ataupun kayu jati atau mengadakan sebarang perjanjian dengan kuasa asing;

4. Menjatuhkan hukuman mati ataupun penjara seumur hidup ke atas seseorang atau merampas harta rakyat; membenarkan sebarang warganegara asing membeli tanah untuk pertanian; atau membuat rumah dengan tujuan untuk menetap di negeri itu; atau untuk membuat perjanjian dengan negara-negara asing atau untuk mempunyai askar, ataupun menyimpan senjata api.

Di bawah peraturan itu, Raja-Raja negeri diberikan jaminan kewangan yang mencukupi sekiranya baginda menjalankan tugasnya dengan baik. Bagaimanapun Phya Sri gagal mendapat persetujuan Raja-raja Melayu, kecuali Raja Jering dan beberapa orang pegawai yang pro-Siam, menerima peraturan pentadbiran. Raja-raja Melayu telah menolak peraturan pentadbiran itu secara keras kerana mereka sedar bahawa dengan menerimanya, kedudukan mereka sebagai raja negeri akan terjejas.

Sebelum pulang ke Bangkok, Phya Sri telah singgah di Patani untuk menyerah salinan peraturan itu kepada Tengku Abdul Kadir Kamruddin serta meminta baginda menerima peraturan itu. Seperti juga Raja-raja Melayu lain, Tengku Abdul Kadir telah menolak peraturan itu. Sekiranya baginda menerima peraturan itu kedudukan baginda adalah ‘… subordinates to 2 or 3 Siamese officers of no particular rank’. Ia juga akan ‘deprives him of all authority’.

Beberapa hari kemudian, Tengku Abdul Kadir menghantar surat bantahan kepada chulalongkorn menyemai perkara itu. Tanpa menghirau bantahan Raja-raja Melayu, Kerajaan Siam meneruskan juga rancangannya untuk merombak sistem pemerintahan di negeri-negeri Melayu Patani.Tengku Abdul Kadir telah dimaklum tentang keputusan ini oleh Putera Damrong pada16 Disember, 1901. Peraturan itu dikenali sebagai ‘peraturan bagi mentadbir Tujuh Wilayah bagi Tahun 120’ di negeri-negeri Melayu Patani.



Peraturan bagi Mentadbir Tujuh Wilayah bagi Tahun 120

Peraturan ini dirancang sebegitu rupa bagi mengukuhkan lagi kawalan kerajaan pusat ke atas semua peringkat dan bidang pentadbiran Negeri-negeri Melayu Patani. Di bawah peraturan ini, Negeri-Negeri Melayu Patani akan diletakkan di bawah tanggungjawab Majlis Wilayah masing-masing yang akan dianggotai oleh Phya Muang (RajaNegeri/Gabenor), selaku Pengerusi Majlis dan Palat Muang (Timbalan pengerusi), Yokrabat (Pegawai Undang-undang). Kesemua pegawai tersebut akan dilantik oleh Raja Siam di atas budi bicaranya.

Sungguhpun Majlis Wilayah diberi kuasa untuk mentadbir negeri itu, ia juga bertanggungjawab sepenuhnya kepada Residen-Jeneral (atau di kenali juga sebagai Pesuruhjaya Tinggi). Perkara ‘4’ dalam peraturan itu menyebut bahawa Majlis Wilayah hanya boleh mengadakan sebarang peraturan atau arahan selepas mendapatkan kelulusan atau kebenaran daripada Residen-Jeneral. Residen-Jeneral diberi kuasa oleh peraturan itu untuk membatalkan mana-mana peraturan atau arahan yang diluluskan oleh Majlis yang dianggap bertentangan dengan kepentingan kerajaan Siam ataupun bercanggah dengan peraturan, arahan atau undang-undang kerajaan atau perjanjian yang dilakukan oleh kerajaan Siam dengan sebarang kerajaan asing. Peraturan itu juga membolehkan Residen-Jeneral menggantung jawatan mana-mana pegawai termasuk Raja negeri atau Gabenor, sekiranya ia dianggap menggugat kepentingan kerajaan Siam.

Jika dilihat pada peraturan itu memang tidak dapat dinafikan ia bertujuan memperkukuhkan penguasaan kerajaan Siam ke atas pentadbiran ‘tributary states and outer porvinces’. Sungguhpun peraturan itu mengakui Raja sebagai Ketua negeri (Phya Muang) namun dalam mentadbir negeri itu, beliau dikehendaki berkongsi kuasa dengan timbalan pengerusi majlis dan juga anggota-anggota majlis yang lain. Baginda tidak boleh menguatkuasakan sebarang keputusan majlis kecuali setelah mendapatkan pengesahan daripada Palat Muang. Dengan itu tidaklah salah kalau dirumuskan bahawa ‘his position was merely titular’.

Putera Damrong juga memberitahu Tengku Abdul Kadir tentang perlantikan Phya Sekseni sebagai Residen-Jeneral atau Pesuruhjaya tinggi bagi negeri-negeri Melayu Patani. Putera Damrong mengingatkan baginda bahawa ‘The Rajah must listen to and follow Phya Sekseni’s Order’. Beliau juga berjanji akan menambahkan elaun kepada Tengku Abdul Kadir ‘in order to maintain the Rajah’s position’. Justeru, katanya sistem cukai di Patani perlu disusun semua kerana ‘the larger the revenue becomes the more the Rajah will get…’Dengan penggubalan Peraturan bagi mentadbir Tujuh Wilayah bagi tahun 120, maka kesemua peraturan pentadbiran, khususnya yang dicadangkan oleh Phya Sri sebelum itu terbatal.

Dalam jawapannya kepada Putera Damrong bertarikh 23 Disember 1901, Tengku Abdul Kadir merayu agar kerajaan Siam membenarkan Patani diperintah seperti sediakala iaitu selaras dengan surat pengiktirafan dari Raja Chulalongkorn yang menegaskan bahawa baginda ‘have the right to govern the state of Patani with justice and just as his predecessors had governed’.

Tengku Abdul Kadir juga menyatakan kesediaannya untuk membuat beberapa pindaan dalam sistem pentadbiran negeri Patani seperti menubuhkan majlis Negeri, mewujudkan jawatan Pegawai Kewangan Negeri, Jabatan Perbendaharaan dan Pejabat Ketua Daerah. Bagi memulihkan kekuasaan dan kedaulatan raja Melayu, Tengku Abdul Kadir mencadangkan supaya,

1. Raja diberi kuasa untuk melantik atau memecat mana-mana pegawai Kerajaan yang melakukan kesalahan.

2. Raja dibenarkan mempunyai seramai 60 orang anggota polis bersenjata.

3. Semua urusan negeri diuruskan dalam bahasa Melayu dan bukan dalam bahasa Siam.

4. Membenarkan bunga mas dan perak dihantar ke Bangkok seperti biasa.

Tengku Abdul Kadir juga berikrar akan mengekalkan perhubungan baik dengan Kerajaan Siam tetapi dengan syarat kerajaan Siam menghormati hak autonomi negeri Patani. Bagaimanapun cadangan Tengku Abdul Kadir itu ditolak oleh pihak berkuasa Siam.

Apabila gagal mendapat persetujuan daripada kerajaan Siam pada awal Januari 1902, Tengku Abdul Kadir sekali lagi merayu kepada Swettenham meminta kerajaan British campur tangan dan melepaskan negeri Patani daripada cengkaman pihak Siam.29 Baginda juga mengingatkan Swettenham bahawa sekiranya British masih membisu dan enggan campur tangan, rakyat Patani tidak ada pilihan lain kecuali terpaksa memberontak menentang Siam dan kalau perlu ia akan berusaha untuk mendapatkan sokongan daripada kuasa Eropah yang lain.

Inilah buat kali keduanya Raja Patani mengugut untuk memberontak dan bercadang untuk mendapatkan sokongan daripada kuasa asing bagi membebaskan negeri Patani daripada cengkaman Siam. Pada pertengahan tahun 1901, baginda bermesyuarat dengan Raja-Raja Melayu lain untuk mengadakan pemberontakan dalam bulan Oktober, 1901 tetapi atas nasihat Duff dan Swettenham rancangan untuk memberontak itu telah dibatalkan.

Pembatalan rancangan itu dibuat di atas sangkaan bahawa pihak British,melalui jasa baik Swettenham dan Duff, akan membantunya untuk melepaskan Patani dan negeri-negeri di sekitarnya dairpada cengkaman pihak Siam. Tetapi sehingga awal tahun 1902, keadaannya masih belum berubah. Kerajaan British masih lagi tidak bertindak tetapi sebaliknya ‘The Siamese government greatly increased their harshness to my country to my exceding great sorrow.’

Justeru,Tengku Abdul Kadir terpaksa membuat ugutan seperti itu sekali lagi. Ugutan Tengku Abdul Kadir itu sudah cukup untuk memaksa Swettenham bertindak. Swettenham, telah mengambil kesempatan daripada lawatan Chulalongkorn ke Singapura pada awal Januari, 1902 untuk merundingkan masalah Patani. Beliau menyatakan rasa bimbangnya terhadap pergolakan yang berlaku di negeri-negeri Melayu Patani. Beliau juga memberi amaran bahawa sekiranya pihak Siam tidak bertindak untuk menyelesaikan masalah Raja-Raja Melayu, besar kemungkinan kekacauan akan tercetus ke kawasan itu yang secara tidak langsung akan menjejaskan kepentingan British di sana.

Beliau menegaskan bahawa Raja-raja Melayu di Semenanjung juga akan campur tangan sekiranya berlaku pemberontakan. Untuk menguatkan hujahnya, Swettenham menarik perhatian Chulalongkorn kepada pemberontakan di Aceh dan Pahang. Sungguhpun pihak British dan Belanda mempunyai kekuatan yang cukup untuk memadamkan pemberontakan tersebut tetapi mereka terpaksa membanting tulang untuk mematahkannya. Swettenham menyatakan beliau tidak yakin bahawa pihak Siam mempunyai kemampuan untuk menghadapi tentangan daripada 50,000 orang-orang Melayu. Jikalau tidak atas nasihatnya, raja-raja Melayu Patani sudah tentu akan bangkit memberontak menentang Siam.

Chulalongkorn mengakui tentang keadaan yang genting di Negeri-negeri Melayu Patani itu dan dengan itu beliau memberi persetujuannya untuk bekerjasama dengan pihak British bagi menyelesaikan masalah tersebut. Bagaimanapun beliau menafikan dakwaan Swettenham bahawa kerajaan Siam tidak berusaha untuk mengukuhkan kedudukan atau kekuasaannya di negeri-negeri itu. Beliau juga menolak dakwaan Swettenham bahawa Raja-Raja Melayu akan bangkit memberontak menentang Siam. Menurut beliau pemberontakan hanya akan berlaku sekiranya Raja-raja Melayu itu disokong oleh kuasa-kuasa luar. Bagaimanapun Chulalongkong berterima kasih kepada Swettenham kerana menasihatkan Raja-raja Melayu supaya tidak memberontak serta mengharamkan kemasukan senjata api ke negeri-negeri tersebut. Dalam perbincangan selanjutnya, Swettenham mengemukakan tiga pilihan kepada Chulalongkorn bagi menyelesaikan masalah Negeri-negeri Melayu Patani,iaitu:

1. Siam melepaskan negeri-negeri tersebut dari kawalannya ataupun;

2. Siam melantik pegawai-pegawai British yang berpengalaman untuk mentadbir negeri-negeri itu bagi pihak Siam, ataupun;

3. Siam memberi mandat kepada kerajaan British untuk mendapatkan persetujuan daripada Raja-raja Melayu supaya menyerahkan segala urusan yang berkait dengan hal ehwal luar negeri kepada kerajaan Siam dengan jaminan bahawa kerajaan Siam akan tidak campur tangan dalam halehwal negeri mereka.

Dalam rundingan selanjutnya, iaitu pada 24 Februari 1902, Swettenham sekali lagi menekankan pentingnya kerajaan Siam membenarkan Raja-raja Melayu menguruskan hal-ehwal dalam negeri sebagaimana biasa mereka lakukan dan juga tidak mengenakan sebarang tekanan supaya bahasa Siam dijadikan bahawa rasmi. Beliau juga bersetuju dengan cadangan Siam untuk menghapuskan tradisi penghantaran bunga mas dan perak oleh kerajaan-kerajaan Melayu kepada kerajaan Siam.

Sungguhpun Chulalongkorn menyatakan persetujuannya untuk mempertimbangkan cadangan-cadangan itu, namun pihak berkuasa Siam di Bangkok, khususnya Kementerian Dalam Negeri, nampaknya tidak bersedia untuk membenarkan British campur tangan dalam urusannya. Tindakan Raja-Raja Melayu yang diketuai oleh Tengku Abdul Kadir menolak rancangan tempoh hari telah menimbulkan kemarahan pihak berkuasa di Bangkok. Mereka menganggap tindakan Raja-raja Melayu Patani itu sebagai mencabar kekuasaan Siam ke atas negeri-negeri itu. Mereka juga memandang berat tindakan Raja-raja Melayu khususnya Tengku Abdul Kadir yang menghubungi pihak berkuasa British di Singapura bagi mendapatkan sokongan British untuk melepaskan negeri-negeri itu daripada cengkaman Siam. Siam menyedari bahawa sekiranya mereka membiarkan Raja-raja Melayu bertindak tanpa sebarang sekatan, kemungkinan besar Siam akan kehilangan wilayahnya di Selatan.

Justeru, pada pagi Jumaat 21 Februari 1902, Phya Sri Sahadhed, Timbalan Menteri Dalam Negeri, telah menghantar telegram kepada Tengku Abdul Kadir memberitahu bahawa beliau akan sampai ke Patani pada petang itu.34 Lebih kurang pada pukul 3 petang seorang pegawai Siam telah datang ke istana raja Patani di Cabang Tiga dan meminta baginda datang ke kediaman Timbalan Menteri Siam itu. Sesudah menunaikan fardhu Asar Tengku Abdul Kadir dengan diiringi oleh 20 orang pengiringnya telah berangkat ke kediaman Timbalan Menteri itu yang dikawal rapi oleh 100 orang askar Siam (Straits Times 12 Mac 1902).

Phya Sri meminta Tengku Abdul Kadir masuk ke biliknya. Selepas itu beliau mengeluarkan satu dokumen mengenai peraturan pentadbiran untuk mentadbir Tujuh Wilayah bagi Tahun 1902, membacanya dan kemudiannya meminta Tengku Abdul Kadir menurunkan tandatangan. Tengku Abdul Kadir enggan menurunkan tandatangannya sebelum beliau berunding dengan Menteri Besarnya yang ketika itu berada di Bangkok. Baginda tidak mahu lagi mengulangi kesilapan seperti yang dilakukan oleh beliau pada masa lalu. Phya Sri terus memaksa Tengku Abdul Kadir menurunkan tandatangan dengan memberikan tempoh selama 5 minit. Sekiranya baginda gagal untuk menandatangani dokumen itu, beliau akan memecat baginda dan melantik Kooday atau Raja Pitay, salah seorang anggota majlis negeri Patani yang pro-Siam, sebagai Raja Patani. Perlu diingatkan bahawa Raja Pitay adalah salah seorang pembesar tempatan yang telah menandatangani dokumen yang dikemukakan oleh Phya Sri dalam majlis perjumpaan Raja-Raja Melayu di Nongchik dahulu (Davies 1902, 26).

Bagaimanapun Tengku Abdul Kadir masih enggan mengikut arahan Timbalan Meneri Siam itu. Dengan berbuat demikian bererti bukan saja baginda telah menyerahkan Patani kepada kerajaan Siam tetapi juga membiarkan rakyatnya terus ditindas oleh pihak berkuasa Siam. Akibatnya,Tengku Abdul Kadir telah ditangkap (Straits Times, 12 Mac 1902).

Melihat keadaan ini, pengiring-pengiring baginda cuba membebaskan Tengku Abdul Kadir dari tahanan pihak Siam, tetapi atas nasihat baginda mereka tidak melakukannya. Tengku Abdul Kadir berpendapat tidak ada gunanya membiarkan rakyatnya bertumpah darah kerana telah diketahuinya kekuatan orang-orang Patani pada masa itu terlampau kecil. Tengku Abdul Kadir telah dibawa ke Songkhla untuk ditahan.

Beberapa hari kemudian, Phya Sukhum, Pesuruhjaya Siam, telahmenangkap pula Tengku Samsuddin, Raja Rangae dan Tengku Mutalib, Raja Teluban. Mereka juga telah dibawa ke Songkhla (Tej Bunnag 1977, 153). Selepas dibawa ke Songkhla, Tengku Abdul Kadir dan Raja-raja Melayu lain di bawa ke Pitsanulok. Baginda telah dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun di atas kesalahan ‘mengingkari perintah’ Raja Siam. Pada 6 Mac 1902, Tengku Abdul Kadir dengan rasminya telah dilucutkan jawatannya sebagai Raja Patani (Davies 1902, 27).35 Pihak Siam telah melantik Raja Pitay atau Kooday, anak sepupu baginda, sebagai Pemangku Raja. Davies, seorang wartawan akhbar Singapore Free Press, mengatakan ‘Raja Pitay is an old man of over sixty years of age and was the nephew of the Tengku Besar’. Di dalam pentadbiran baru itu, kerajaan Siam mula melaksanakan reformasi pentadbiran di Patani.

Dengan itu berakhirlah pemerintahan keluarga Tuan Besar di Patani yang telah memerintah negeri itu selama 60 tahun. Tahun masehi 1902 adalah tahun yang malang sekali di dalam sejarah kejatuhan kerajaan Melayu Patani’. Dengan kejatuhan itu, maka ‘terhapus hak pertuanan orang-orang Melayu atas negeri Patani, tergadai semua hak kebebasan dan kemerdekaan mereka kepada Raja Siam’.



Reaksi ke Atas Penahanan Tengku Abdul Kadir Kamaruddin

Penahanan Tengku Abdul Kadir, Tengku Samsuddin dan Tengku Abdul Mutalib telah menimbulkan kemarahan dan kebencian yang menyeluruh di kalangan orang-orang Melayu di tujuh wilayah, termasuk juga di Semenanjung,terhadap Siam. Mereka bersimpati dengan bekas Raja Patani yang dianggap telah menjadi mangsa penindasan dan kezaliman pihak Siam. Pejabat Gabenor British di Singapura telah menjadi tumpuan dan sasaran pelbagai pihak. Kaum kerabat Diraja Patani, Raja-raja Melayu, orang perseorangan dan akhbar-akhbar Negeri-negeri Selat telah mendesak kerajaan British supaya campur tangan dan membebaskan Raja Patani daripada tahanan Siam. Mereka juga mendesak kerajaan British supaya mengambil-alih tujuh wilayah di selatan daripada pihak Siam. Menulis mengenai situasi ini. Swettenham menyatakan:

No event in my recollection had ever aroused such a widespread feeling of anger and sympathy on the arrest of the Rajah of Patani. It is universal throughout the states on the east coast of the peninsula and is even shared by the Malays under our protection.

Pihak berkuasa British di Singapura hanya mengetahui peristiwa itu setelah diberitahu oleh Tengku Petri, Permaisuri Raja Patani, dan Tengku Zainal Abidin, Raja Muda Kelantan, pada awal Mac 1902. Kelewatan ini berlaku kerana pihak Siam dikatakan tidak membenarkan sebarang maklumat tentang perkara itu dikirim keluar sama ada melalui telegraf atau surat-menyurat.

Sebaik saja menerima maklumat itu, Swettenham dengan serta-merta memberitahu Pejabat Tanah Jajahan di London serta mendesak kerajaan British supaya meminta kerajaan Siam membebaskan Tengku Abdul Kadir dan dua orang Raja Melayu lain. Dalam masa yang sama, Swettenham juga menghantar surat bantahan kepada Chulalongkorn. Beliau menulis:

‘I regret that I was not made aware of this incident during your Majesty’s visit to Singapore, for it makes it difficult for me to render the assistance I am anxious to give to your Majesty’s Government, if such a serious step is taken during the progress of negotiations, and I am not informed of it.

Di London, kejadian itu dipandang serius oleh kerajaan British. Pejabat Tanah Jajahan menganggap tindakan pihak Siam itu sebagai ‘biadab’. Pihak Pejabat Luar pula menganggapnya sebagai ‘keterlaluan.’ 40 Joseph Chamberlain, Setiausaha Tanah Jajahan Negeri British, dengan serta merta meminta Menteri British di Bangkok, Tower, supaya mengemukakan bantahan kepada kerajaan Siam di atas kejadian itu.

Walau bagaimanapun Tower tidak mengemukakan bantahan Pejabat Luar British kepada Chulalongkorn. Beliau bertindak demikian kerana tidak mahu menjejaskan rundingan di antara kedua-dua buah kerajaan, mengenai Negeri-Negeri Melayu Utara (Kelantan, Terengganu) dan katanya:

I think it would injure our cause if we were to begin with drastic measures affecting

Patani - a non-conterminous state while the relations between Siam and the neighbouring

state of Kelantan and Terengganu are still to be adjusted.

Tambahnya lagi, tindakan pihak Siam menahan Raja Patani adalah sejajar dengan kehendak British yang ingin melihat kekuasaan Siam bertapak teguh di Patani. Pandangan Tower mengenai isu Patani mendapat perhatian pihak British di London. Kebetulan pula pihak Siam merayu kepada kerajaan British supaya isu Patani itu diasingkan dan dibezakan dari kes negeri Kelantan dan Terengganu. Justeru, dalam rundingan British-Siam yang diadakan kemudiannya, wilayah Patani tidak dibincangkan. Keadaan ini telah menimbulkan perasaan tidak puas hati kerabat Diraja Patani dan beberapa orang pegawai British di Tanah Melayu serta Singapura yang ingin melihat Patani dan Negeri-Negeri Melayu di sekitarnya terlepas dari cengkaman pihak Siam.

Tengku Petri, dalam sepucuk Suratnya kepada Swettenham pada 18 Ogos, 1902, telah menyalahkan pihak British dan juga Swettenham di atas penahanan suaminya oleh pihak Siam. Katanya:

Had any change been necessary on the status of the country he would have no objection to the British coming there but he would have fought the Siamese intrusion had he not been advised otherwise by the Governor, and he knew he would have had all the Malay states on his side in the struggle against them. The petitioner now pray that the British Government may give the case their precious consideration and demand the release of the Rajah. With respect to the future of the state the Patanese can further pray that it might be taken once by the British nation and not suffered to remain in Siamese hand.

R.W. Duff juga merayu supaya kerajaan British membebaskan Raja Patani dari tahanan pihak Siam.45 Beliau menyalahkan dirinya dan juga kerajaan British kerana menyebabkan Raja Patani itu ditahan oleh pihak Siam.

Swettenham yang menjadi sasaran pihak yang bersimpati dengan Raja Patani, juga menyatakan perasaan tidak puas hati terhadap sikap kerajaan British mengenai isu Raja Patani. Dalam suratnya kepada Lucas pada 11 Jun,1902, Swettenham menulis:

I cannot suppose that HMG desired to enlarge the area of the Siamese Dominions for the benefit of humanity, because of all Eastern people the Siamese are the most contemptible, the most unrealible, the most corrupt. They are cruel and lazy, untrustful, and they are not even courageous. I know the British Government does not want them and that the Malays (or some of them) want us, is of far less importance than the fact that they do not want the Siamese. At this moment our influence in the peninsula is predominant and our prestige is great … The propect for them is gloomy, the feeling of unrest and oppression is great. I keenly hope it will not be forgotten that, knowing what was going on, I told the Rajah of Patani and his friends neither to make nor to allow any trouble. The consequence is that, without striking a blow for himself, he is now a prisoner on some remote spot far up the Menam river, because he declined to sign a document of practical abdication which must have been needless if (as the Siamese contend) his country already belonged to Siam and he was simply and official appointed by the King. Surely some real pressure may be put upon the Siamese Government to compell the King to release this man, and give him and his family enough to leave upon in exile in some part of the peninsula not under Siamese control.’

Pada bulan September, 1902 Swettenham memberitahu pihak berkuasa di London tentang kesediaannya untuk memberikan tempat tinggal kepada Tengku Abdul Kadir di Negeri-negeri Melayu Bersekutu sekiranya pihak Siam membebaskan baginda.Beliau juga memberi jaminan bahawa bekas Raja Patani itu tidak akan di benaran pulang ke Patani selepas dibenarkan tinggal di Negeri-negeri Melayu bersekutu Sungguhpun begitu, cadangan Swettenham tidak dapat diambil tindakan kerana pada masa itu perwakilan British di Bangkok sedang berunding dengan kerajaan Siam mengenai kedudukan Negeri-Negeri Melayu Utara.

Bagaimanapun, setelah termeterainya Perjanjian British-Siam pada 5 Oktober 1902, kes Raja Patani itu telah dibangkit semula oleh pihak British (Chandran,J. 1971, 4-3). Kebetulan pula pada masa itu kerajaan Siam juga bersedia untuk menyelesaikan masalah Patani. Sebagaimana yang dikata oleh Tej Bunnag, ‘… the military victory did not overcome the resentment some peopel felt towards the reduction of regional independence.’ (Taj Bunnag 1974, 154) Chulalongkorn sendiri menyedari tentang hakikat ini. Dalam sepucuk suratnya kepada Putera Damrong, Chulalongkorn mengatakan:

…We have rather perverted the administration of the …seven Malay Proveince from its true state. It can be said that we have imported but have misused a foreign mode of administration …When the British use this model of administration, they go to advise and supervise rulers whom they treat as the owners of the provinces … We, on the other hand, treat the provinces as ours, which is not true, for the Malays consider the provinces belong to them. When we said we are going to trust them, we do not really do so, but send commissioners and deputy commissioners are then empowered only either to manipulate them as puppets of, if that is not possible, to spy on them and to pass on their secrets. We cannot, however, really protect against anything in this way. I do not think that an administration, which is so full of deviousness, can result in our mutual and peace of mind …’

Sebagai satu usaha ke arah menyelesaikan masalah tidak puas hati penduduk-penduduk tempatan terhadap kerajaan Siam dan juga untuk meredakan tekanan pihak British, kerajaan Siam mengambil keputusan untuk membebaskan bekas Raja-raja Melayu. Pada bulan April, 1903, Tengku Samsuddin, Raja Rangae dan Tengku Mutalib, Raja Teluban telah dibebaskan setelah kedua-duanya bersetuju untuk menerima peraturan 1901 bagi dilaksanakan di negeri masing-masing. Bagaimanapun Tengku Abdul Kadir, bekas Raja Patani, hanya dibebaskan setahun kemudian (Penang Gazette 12 Mac 1904). Mengikut Putera Damrong, kelewatan ini berlaku kerana Tengku Abdul Kadir enggan menandatangani surat ikrar untuk berperangai baik.Tetapi, mengikut Muhammad Sanib, wakil bekas Raja Patani, Tengku Abdul Kadir ‘was by no means unwilling to give a promise of good behaviour’ cuma baginda tidak bersetuju dengan syarat Gabenor Pitsanulok yang mahukan baginda membuat pengakuan bahawa tindakannya ‘mengingkari arahan Raja Siam’ tempoh hari adalah kerana hasutan Swettenham, Gabenor Negeri-negeri Selat.

Pada 5 Mac 1904, Tengku Abdul Kadir telah dibebaskan dari tahanan selepas baginda membuat pengisytiharan bahawa beliau tidak akan lagi melibatkan diri ataupun bergiat dalam politik dan akan patuh kepada kerajaan Siam.(Tej Bunnag 1974, 156) Pada 27 April, 1904, Tengku Abdul Kadir pulang ke Patani dengan kapal ‘S.S Chakrabongse’, selepas ditahan di penjara Pitsanulok selama lebih kurang 27 bulan (Penang Gazette 12 Mac 1904). Kepulangan baginda kali ini bukan lagi sebagai seorang raja tetapi sebagai rakyat biasa. Sungguhpun begitu Tengku Abdul Kadir telah di beri sambutan dengan penuh adat kebesaran raja Melayu oleh rakyat baginda.

Pada masa itu sistem pemerintahan di Patani telahpun berubah. Negeri Patani sendiri telah dicantum dengan negeri-negeri Patani lain yang dikenali sebagai Boriwen Patani dan diletak di bawah tanggungjawab seorang Pesuruhjaya Tinggi Siam bernama Phraya Mahibol. Pesuruhjaya Tinggi Siam di Patani sebelum itu, iaitu Phraya Sekseni, telah ditukar sebaik saja Tengku Abdul Kadir dibebaskan dari tahanan. Pada pendapat Tej Bunnag, pertukaran itu dibuat mungkin bertujuan untuk ‘reconcile the local nobility’. Tengku Abdul Kadir bagaimanapun tidak tinggal lama di Patani. Pada tahun 1905, baginda sekeluarga telah berpindah ke Kelantan untuk membina penghidupan baru di sana.



Patani di Bawah Pemerintahan Siam

Penyusunan semula sistem pentadbiran wilayah yang telah dilakukan sejak 1898 telah membawa perubahan juga dalam birokrasi. Raja-Raja Melayu satu demi satu telah digantikan dengan Gabenor Siam yang dilantik dari perkhidmatan awam kebangsaan. Oleh kerana kesemua jawatan terletak di bawah perkhidmatan awam kebangsaan dan segala urusan pentadbiran dijalankan dalam bahasa Siam, maka hampir kesemua jawatan kecil seperti kerani dan pelayan pejabat, telah dipegang oleh pegawai Siam yang didatangkan dari Bangkok.

Bagi orang-orang Melayu perubahan dalam sistem pentadbiran ini adalah satu penjajahan ke atas negeri dan bangsa mereka. Suatu hal yang menimbulkan masalah kepada orang-orang Melayu ialah pegawai-pegawai Siam yang dihantar bertugas ke selatan adalah berpendidikan Siam. Mereka tidak mengetahui bahasa dan adat-resam tempatan. Oleh kerana kurang mengetahui tentang kebudayaan tempatan, tindakan dan perbuatan pegawai Siam itu selalu menyinggung perasaan orang-orang Melayu. Keadaan ini menyebabkan perhubungan antara penduduk-penduduk tempatan dengan para pegawai Siam tidak terjalin dengan baik. Selain daripada sikap itu, kualiti pegawai-pegawai Siam yang dihantar bertugas di Patani adalah kurang memuaskan.

Arsa Meksawan, dalam kajiannya menulis bahawa: The assignment of high-ranking officials who were residents of Bangkok to provincial posts was not regarded favourably by them. Old tradition did not encourage people to move freely from one province to another. Naturally officials who were used to living in Bangkok all their lives hated the idea of being transferred to the provinces, which were places alien and unknown to them (Arsa Meksawan 1961, 11).

Memang telah menjadi satu amalan pemerintah Bangkok menjadikan wilayah-wilayah yang terpencil dari pentadbiran pusat seperti di selatan sebagai tempat "Pembuangan" pegawai-pegawai rasuah. Akibatnya, wilayah-wilayah berkenaan mempunyai pegawai yang mengamalkan rasuah, tidak cekap dan tidak bertanggungjawab. Ramai di kalangan mereka yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan rasuah dan kegiatan jenayah lain seperti penyeludupan. Akibat daripada sikap dan kualiti pegawai-pegawai Siam yang dihantar bertugas di selatan yang mementingkan diri sendiri, pembangunan sosial dan ekonomi di Patani terabai dan terbiar. Bagi orang-orang Melayu, mereka tidak melihat sebarang perubahan yang dapat dinikmati di bawah pemerintahan Siam. Keadaan ekonomi mereka tetap tidak berubah sedangkan mereka juga membayar cukai kepada kerajaan. Keadaan ini telah menimbulkan kemarahan orang-orang Melayu terhadap pemerintah. W.A.R Wood, Konsul British di Songkhla, bersetuju bahawa ‘Patani ‘is grossly misgoverned’.1 Antara perkara yang mencetuskan perasaan tidak puas hati orang-orang Melayu Patani ialah adanya aktiviti buruh paksaan.

To my mind the most disgusting feature of this forced labour in Patani is that it is all for nothing. Men are dragged from their homes and work and set to perform arduous tasks without pay and though the whole country is groaning with discontent owing to this state of affairs there is nothing to show it. I really cannot think what the Siamese make these unfortunate people do, but is quite clear that their labour is not utilized for public works.2

Malahan Kooday (Raja Pitak), Raja negeri Patani, pernah mengadu kepada Wood tentang kesusahan hidup di bawah pemerintahan Siam. Katanya: You will see, "that my mouth cannot speak some things, but in my heart I know what people are saying, and how unhappy the peasants of Patani are now.

Dalam suratnya kepada Paget, Menteri British di Bangkok, Wood menyatakan kebimbangannya bahawa sekiranya tindakan tidak diambil, kemungkinan besar kekacauan akan berlaku di wilayah Melayu tersebut. In short, everyone is full of discontent… the natives of Patani who begged me to register them as British subjects were very numerous. Patani is grossly misgoverned, and if the Siamese authorities do not mend their ways they will only have themselves to thank should serious trouble occur. I myself should have considerably more respect for the natives of Patani that I now have were they were to rise up and massacre every Siamese in the state.

Pihak British sememangnya berhasrat untuk melihat negeri-negeri Melayu tersebut bebas daripada naungan Siam dan meletakkan negeri-negeri tersebut di bawah naungannya terutama selepas menerima laporan mengenai kemungkinan kekacauan meletus di wilayah tersebut. Pihak British berpeluang untuk membangkitkan soal kedudukan Patani dan Setul dengan pihak Siam apabila pihak Siam mengemukakan cadangan untuk membincangkan tentang penyerahan Negeri-Negeri Melayu utara kepada British pada tahun 1907 (Nik Anuar 1994).

Dalam pertemuannya dengan Paget, Menteri British di Bangkok, Strobel, Penasihat Utama kerajaan Siam, mengemukakan cadangan kerajaan Siam untuk menyerahkan negeri Kelantan dan Terengganu kepada pihak British dengan syarat hak keistimewaan British di Siam dihapuskan. Dalam rundingan, pihak British cuba mempengaruhi kerajaan Siam supaya menyerahkan juga Negeri-Negeri Melayu seperti Patani, Legeh, Reman dan Setul berasaskan pertimbangan etnik, kebudayaan dan ilmu alam. Strobel, bagaimanapun, menolak cadangan tersebut dengan menegaskan bahawa kerajaan Siam hanya bersetuju untuk menyerah mana-mana wilayah yang tidak mempunyai kuasa kawalannya saja, dan pembahagian itu adalah bergantung kepada pertimbangan yang berkaitan dengan hal-hal pentadbiran semata-mata. Namun demikian, Paget, dalam perbincangan tidak rasminya dengan Strobel, cuba memasukan juga Patani dan negeri-negeri di sekitarnya dalam penyerahan itu tetapi gagal. Strobel menolaknya dengan tegas sambil berkata bahawa:

If that is to be the game, I think we had better abandon the negotiations at once. I am having sufficient difficulty with the King about Kedah and am not prepared to gofurther …there are considerable settlements of Siamese in Setul, and it might not be possible to include that state… As for Patani it is out of the question, as the Siamese Government will never consent to its cession.

Bagaimanapun, dalam perbincangan selanjutnya, Strobel bersedia untuk melepaskan Perlis. Pihak Siam juga bersetuju untuk menyerahkan beberapa buah pulau, termasuklah Pulau Langkawi. Pihak kerajaan British pula bersetuju memberikan pinjaman untuk membiayai pembinaan kereta api kepada kerajaan Siam atas kadar 3 3/4 peratus setahun. Kegagalan British untuk melepaskan Patani daripada belenggu kekuasaan Siam telah mengecewakan orang-orang Melayu Patani. Dengan itu tidaklah hairan orang-orang Melayu di Patani telah bangkit memberontak dalam tahun 1910 dan 1911 yang diketuai oleh tuan-tuan guru pondok. Malangnya, pemberontakan itu dibuat tanpa perancangan yang rapi dan dengan demikian pihak berkuasa Siam dengan senang saja dapat mematahkannya.



Kebangkitan di Kampung Belukar Semak

Bagaimanapun, dalam tahun 1923 satu pemberontakan yang paling besar telah berlaku di Belukar Semak, sebuah kampung yang terletak dalam daerah Rakak. Pemberontakan ini berpunca daripada tindakan kerajaan Siam yang mahu mengintegrasikan masyarakat Melayu yang dianggap minoriti ke dalam masyarakat Siam melalui proses pendidikan.

Dalam tahun 1921, kerajaan Siam telah meluluskan Akta Pelajaran yang mewajibkan kanak-kanak belajar di sekolah kebangsaan Siam yang menggunakan bahasa Siam sebagai bahasa pengantar. Bagi menjayakan rancangan tersebut, pusat-pusat pengajian agama seperti pondok dan masjid diarahkan supaya mengubah dan menyesuaikan sukatan pelajaran mengikut garis yang ditetapkan oleh kerajaan. Oleh kerana bimbang anak-anak mereka akan disiamkan atau dibuddhakan, maka orang-orang Melayu enggan menghantar anak-anak mereka ke sekolah kerajaan yang kebetulannya pula dikendalikan oleh sami-sami Buddha.

Bagi membiayai perbelanjaan sekolah tersebut, kerajaan Siam memaksa penduduk-penduduk tempatan menanggungnya melalui cukai kepala sebanyak satu tikal seorang tanpa mengira jantina. Hal ini telah menimbulkan kegelisahan di kalangan orang-orang Melayu. Walaupun cukai itu tidak tinggi, mereka menganggapnya sebagai suatu bebanan. Ini adalah kerana mereka baru saja terlepas daripada kemelesatan ekonomi akibat kejatuhan harga beras dan wabak penyakit lembu dan kerbau.

Tengku Abdul Kadir, bekas raja Patani, telah menjadi tumpuan orang-orang Melayu untuk mengadu segala kesusahan mereka. Dengan sokongan orang-orang Turki yang dipimpin oleh Osman Effendi, Tengku Abdul Kadir Kamaruddin telah menubuhkan barisan pembebasan yang dikenali sebagai Pakatan Mempertahankan Agama Islam (PMAI). Orang-orang Melayu dinasihatkan supaya tidak membayar cukai kepada kerajaan tetapi sebaliknya memberikan sumbangan kepada pakatan ini.

Pada awal Januari 1923, pertempuran telah tercetus di antara ahli-ahli PMAI dengan pasukan polis di Belukar Semak. Ramai daripada pemimpin tempatan yang telah dituduh bersubahat dalam PMAI itu telah ditangkap dan dihukum penjara. Tengku Abdul Kadir dan keluarganya pula sempat melarikan diri ke Kelantan. Sejak peristiwa itu, kerajaan Siam mula menjalankan langkah-langkah ketat mengawal pemimpin-pemimpin Melayu tempatan. Tangkapan dilakukan ke atas orang-orang yang disyaki menjadi pemimpin pergerakan pembebasan tersebut.

Bagi mengelak peristiwa itu daripada berlaku sekali lagi, pada Julai 1923, Vajiravudh telah mengeluarkan arahan kepada Kementerian Dalam Negeri supaya memilih pegawai-pegawai yang jujur dan bertangggungjawab untuk dihantar bertugas di wilayah-wilayah Melayu (Nik Anuar 1994, 26). Tentang cukai, baginda meminta cukai yang akan dikenakan di wilayah itu mestilah lebih kurang sama dengan cukai yang dikutip di negeri-negeri di Semenanjung Tanah Melayu. Baginda juga tidak mahu kegiatan agama Islam Penduduk-penduduk tempatan diganggu oleh pihak berkuasa Siam. Phya Dechanuchit, Gabenor Patani, juga telah ditukar bagi menenangkan keadaan.5 Vajiravudh memang bimbang dengan keadaan di wilayah-wilayah Melayu. Baginda tidak mahu kekacauan itu memberi kesempatan kepada kuasa asing untuk campur tangan.

Sejak peristiwa Belukar Semak, akhbar negeri-negeri Selat, seperti Penang Gazette, dalam keluarannya pada 14 March 1923, telah mendesak kerajaan British supaya campur tangan bagi menyelamatkan orang-orang Melayu daripada penindasan Siam (Penang Gazette, 14 Mac 1923). Buat pertama kali sejak pengambilan wilayah-wilayah Melayu, kerajaan Siam terpaksa memberi sedikit kelonggaran kepada Patani dan wilayah-wilayah di sekitarnya dalam usaha untuk menyerap wilayah-wilayah tersebut ke dalam sistem pentadbiran Siam. Dengan membuat demikian, Patani memperoleh sedikit antonomi. Keadaan ini bagaimanapun tidak kekal lama. Ketegangan tercetus semula di wilayah-wilayah Melayu apabila kerajaan Siam, terutamanya sewaktu pemerintahan Pibul Songgram (1939-44) melaksanakan Dasar Kebudayaan Paksaan atau Rathaniyom.



Rancangan Asimilasi dan Kesannya ke atas Masyarakat Melayu

Pada tahun 1932, Kerajaan Siam sendiri telah mengalami perubahan besar dalam sejarah politiknya. Pada 24 Jun 1932 sekumpulan pegawai muda tentera dan awam di bawah pimpinan Phya Bahol, Phya Song dan Pridi Banamyong telah merampas kuasa dan menukar sistem pemerintahan negara itu daripada sistem pemerintahan beraja mutlak kepada pemerintahan beraja berperlembagaan (Lihat Thawatt Makoropong 1972; Benjamin A. Batson 1984 dan K.B London 1939).

Pemimpin-pemimpin Islam Bangkok seperti Chaem Promyong atau Haji Samsuddin Mustapha dan Bachong Sricharoon atau Haji Wahab juga turut serta dalam rampasan kuasa tersebut. Rampasan kuasa bulan Jun 1932 membawa harapan baru kepada proses revolusi politik di Siam. Revolusi itu memperkenalkan sistem pemerintahan berperlembagaan yang memberi keutamaan kepada kebebasan dan peluang sama rata kepada kesemua lapisan masyarakat untuk melibatkan diri dalam proses pemerintahan sendiri. Matlamat revolusi itu adalah untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran hidup kepada seluruh warga negara Siam.

Perubahan itu dialu-alukan oleh orang-orang Melayu di empat wilayah di selatan itu. Di bawah sistem berparlimen ini, orang-orang Melayu percaya mereka akan memperolehi konsesi daripada kerajaan pusat untuk mengekalkan autonomi berhubung agama, budaya dan bahasa mereka.

Sejajar dengan matlamat itu, pilihan raya pertama dalam sejarah politik negara itu telah diadakan pada tahun 1933. Dalam pilihan raya itu seorang wakil rakyat keturunan Melayu telah dipilih untuk menduduki kerusi di Parlimen. Beliau adalah Abdullah Lang Puteh berasal dari Setul. Dalam pilihan raya tahun 1936 pula, dua orang calon Melayu lagi telah dipilih untuk mewakili daerah Patani dan Narathiwat di Parlimen. Mereka ialah Kumuda Abdul Putra dan Tengku Abdul Jalal atau dikenali juga sebagai Adul Nai Saiburi. Tengku Abdul Jalal adalah anak Tengku Muttalib, Raja Teluban yang terakhir. Dalam tahun 1937, Kerajaan Phya Bahol telah melantik Haji Mustapha atau Banchong Sricharon dari Bangkok sebagai seorang Senator (Ibrahim Shukri 1985, 65).

Kehadiran wakil-wakil rakyat Muslim di parlimen ini telah memberi harapan kepada masyarakat Islam khususnya orang-orang Melayu di selatan, yang selama ini terabai, atau sekurang-kurang nasib mereka akan mendapat perhatian. Bagaimanapun, revolusi Siam itu juga telah menjadikan orang-orang Siam lebih bersemangat kebangsaan yang bersifat kesiaman daripada sebelumnya. Semangat kesiaman ini dapat dilihat di segi Perlembagaan 1932 yang menyebut antara lain bahawa: Siam is a kingdom, one and indivisible.

Berasaskan semangat perlembagaan itu pemimpin-pemimpin Siam mula menyusun dasar untuk membentuk sebuah negara Siam yang sejati berasaskan kepada satu agama, bangsa, bahasa dan kebudayaan Siam. Semasa pemerintahan Phya Bahol (1933-38), beberapa langkah awal telah diambil oleh kerajaan Siam untuk mengasimilasi penduduk-penduduk minoriti di negara itu, termasuk juga kaum Melayu, melalui sistem pelajaran. Di bawah Akta Pelajaran itu, semua kanak-kanak yang cukup umur persekolahan diwajibkan belajar di sekolah kerajaan. Keadaan ini telah meletakkan orang-orang Melayu dalam dilema.

Sejak dari awal lagi pelajaran Siam dijalankan seiring dengan pengajaran agama Buddha. Ini kerana sami-sami Buddha yang memain peranan utama dalam bidang pendidikan, terutamanya dalam kegiatan menghapuskan buta huruf. Orang-orang Melayu menolak pendidikan Siam kerana mereka merasa bahawa itu adalah usaha awal pihak Siam untuk mensiamkan mereka dan juga mengambil anak-anak mereka sebagai anggota tentera. Menghantar anak-anak ke sekolah Siam bererti membenarkan anak-anak mereka meninggalkan identiti mereka sebagai seorang yang berketurunan Melayu dan beragama Islam. Lagipun, bahasa Siam yang diajar di peringkat sekolah itu bukanlah bahasa mereka dan yang paling serius ialah sekiranya anak-anak mereka tidak mempelajari bahasa Melayu Jawi mereka tidak akan dapat mempelajari ilmu Islam dan boleh jadi disebabkan keadaan itu ia akan menggalakkan anak-anak Melayu memeluk agama Buddha ataupun sekurang-kurangnya akan meninggalkan tradisi Islam sebagai satu cara hidup. Pada umumnya dasar untuk mengasimilasi orang-orang Melayu pada masa itu melalui pelajaran gagal; sebaliknya pula langkah tersebut telah menimbulkan kemarahan orang-orang Melayu.



Pibul Songgram dan Dasar Rathaniyom

Tahun 1940-an memperlihatkan perkembangan nasionalisme bersifat kesiaman yang begitu kuat, terutama apabila Pibul Songgram, salah seorang pemimpin kanan tentera, mengambil alih teraju pemerintahan daripada Phya Bahol pada bulan Disember 1938 (Thak Chaloem tiarana 1978; 243-317). Pibul Songgram adalah seorang ultra-nasionalis yang bercita-cita tinggi dan berdisiplin. Beliau ingin melihat Siam muncul sebagai sebuah negara yang maju setaraf dengan negara Jepun, Jerman dan Itali. Beliau memandang jijik dengan keadaan orang-orang Siam yang mundur dan bersikap apathy itu.

Pibul melancarkan satu program dengan tujuan untuk menjadikan semangat kebangsaan kesiaman sebagai pegangan hidup orang-orang Siam (Tham Sook Numnonda 1997). Beliau percaya bahawa kesedaran hanya dapat dicapai melalui rancangan sosio-budaya yang berasaskan konsep nasionalisme, kebudayaan Siam dan agama Buddha. Dengan kesedaran ke arah itu, rakyat Siam tanpa mengira bangsa atau kumpulan dan etnik maisng-masing akan dapat bekerjasama menuju keunggulan negara baik di segi politik, sosio-budaya ataupun ekonomi.

Pibul telah mengubal Dasar Siam Rathaniyom atau dasar adat resam Siam. Di bawah dasar ini, kesemua penduduk di negara itu tanpa mengira kaum dan agama dikehendaki memakai pakaian potongan Eropah, bertopi, makan dengan sudu dan menggunakan meja sebagai tempat makan. Bagi memastikan dasar itu berjaya, Pibul Songgram terlebih dahulu telah bertindak menghapuskan penentang-penentangnya yang dianggap boleh menggagalkan rancangannya. Operasi menangkap musuh-musuh politiknya telah dijalankan pada awal Januari 1940 atas alasan untuk membersihkan anasir-anasir yang terlibat dalam komplot untuk menggulingnya. Antara mereka yang ditahan termasuklah Putera Chainat, bapa saudara Raja Ananda Mahidol, Kolonel Phraya Song dan Leftenan-Jeneral Phraya Thephusdin. Pibul memulakan rancangannya dengan mengumumkan tujuh dikri atau arahan bersifat perundangan dalam tahun 1939. Ketujuh-tujuh dikri itu adalah mengenai cara untuk menanamkan semangat cintakan negara di kalangan rakyat negara itu. Sejajar dengan semangat itu nama negara itu telah ditukar daripada "Siam" kepada "Thailand".

Kempen Rathaniyom itu adalah di bawah pengawasan Pibul sendiri dengan dibantu oleh Luang Vichit Vadhakarn, ketua Pengarah Jabatan Seni Halus dan juga seorang Menteri Tanpa Jabatan. Setengah daripada peraturannya adalah baik dari segi memupuk perasaan taat setia kepada negara tetapi kebanyakannya adalah tidak sesuai dan tidak praktikal termasuk untuk orang Siam sendiri. Keadaan ini telah menimbulkan perasaan kurang senang di kalangan penduduk-penduduk negara tersebut. Bersesuaian dengan semangat yang berkembang ketika itu, kerajaan Siam juga berusaha untuk mengawal kehidupan keagamaan penduduk-penduduk di negara itu. Tujuannya adalah untuk menyamakan semangat kasihkan negara itu dengan Buddhisme.

Ini adalah satu-satunya langkah kerajaan pada ketika itu yang menyakitkan hati orang-orang Melayu. Orang-orang Melayu Siam Selatan tidak dibenarkan menggunakan nama Melayu, berpakaian Melayu, bercakap dan menulis dalam bahasa Melayu serta mempelajari agama Islam. Sebab-sebab lain yang mencetuskan kemarahan orang Melayu ialah tindakan Pibul menghapuskan undang-undang Islam.Sejak Chulalongkorn melaksanakan reformasi pentadbiran, urusan kekeluargaan berhubung nikah-kahwin dan harta pusaka telah dikecualikan daripada undang-undang Siam dan diserahkan kepada Majlis Agama Islam tempatan untuk menguruskannya. Tetapi semasa pemerintahan Pibul, pengecualian ini telah dihapuskan (Ibrahim Shukri 1985). Dalam tahun 1944, jawatan kadhi telah dihapuskan. Kesemua masalah yang berkait dengan soal nikah-cerai dan harta-pusaka telah diuruskan berasaskan undang-undang sivil.



Haji Sulung dan He’et alNapadh al Lahkanal Shariat

Menyedari bahawa identiti agama dan kebudayaan mereka tercabar di bawah rejim Pibul, pemimpin-pemimpin agama Islam di bawah pimpinan Haji Sulung bin Abdul Kadir, seorang ulama yang terkemuka di Patani, telah menubuhkan sebuah pertubuhan agama yang dikenali sebagai He’et al Napadh alLahkan ala Shariat (pertubuhan bagi mempertahankan undang-undang Syariat).

Tujuan pertubuhan ini adalah untuk menggalakkan kerjasama dan mewujudkan pakatan di kalangan alim ulama dan guru-guru agama bagi menghadapi tindakan pihak kerajaan yang cuba mengasimilasi orang-orang Melayu dan mencabuli agama Islam.

Haji Sulung dilahirkan di Kampong Anak Rhu, Patani, pada tahun1895. Beliau adalah cicit kepada Tuan Munal atau Haji Zainal Abidin bin Muhammad, seorang ulama Patani yang terkenal. Beliau telah mendapat didikan awal dalam pengajian agama di Pondok Haji Abdul Rashid, Kampung Bandar, Sungai Pandan, Patani. Sewaktu beliau berumur 12 tahun, Haji Sulung telah dihantar untuk belajar di Makkah Al-Mukarramah di bawah bimbingan Syeikh Zainal Abidin Al-Fatani. Beliau dikatakan terpengaruh dengan pemikiran agama Syeikh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, iaitu dua tokoh kaum muda yang terkenal pada ketika itu.

Beliau telah pulang ke Patani pada tahun 1924 dan memulakan kerjayanya sebagai guru agama di wilayah itu. Haji Sulung telah mendirikan Madrasah al-Mu’aruf al-Wataniah. Bagaimanapun madrasah ini tidak dapat bertahan lama setelah diperintah tutup oleh pihak berkuasa Siam. Dengan penutupan madrasah tersebut, Haji Sulung mula mengajar di Masjid Patani dalam bidang ilmu Usuluddin dan Tafsir. Huraian-huraian beliau dalam tafsir adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat Patani yang biasa mendengar tafsiran cara Baidhawi dan cara lain sahaja. Tafsir beliau dikatakan sangat menarik, progresif dan berani sehingga menyebabkan orang ramai tertarik untuk menghadiri kuliah-kuliahnya.

Di samping melibatkan diri dalam kegiatan keagamaan, Haji Sulung juga cergas dalam pergerakan politik. Oleh kerana pengaruhnya begitu besar di kalangan orang-orang Melayu, pihak berkuasa Siam tempatan seringkali mendampinginya bagi mendapatkan nasihat serta sokongan bagi sesuatu dasar yang hendak dilaksanakan dengan licin. Haji Sulung juga di katakan sebagai salah seorang ulama yang menentang campur tangan kerajaan Siam dalam hal-ehwal keagamaan ummah Islam. Beliau menyalahkan kerajaan kerana menyebabkan kesucian agama Islam terjejas.

Oleh itu bukanlah sesuatu yang menghairankan apabila Pibul Songgram menguatkuasakan Dasar Rathaniyom, Haji Sulung telah menubuhkan Pertubuhan bagi mempertahankan undang-undang syariat Islamiyah. Antara ulama-ulama yang menyertai pertubuhan itu ialah Haji Mat Pauh, Tuan Guru Haji Berahim, Haji Hassan dan Haji Abdullah Masjid Embong. Tengku Abdul Jalal, wakil rakyat bagi wilayah Narathiwat, juga telah mengemukakan bantahan kepada Pibul Songgram pada bulan Februari 1944 yang meminta supaya beberapa pindaan dibuat berhubung dengan perlaksanaan peraturan kebudayaan ke atas masyarakat Melayu di empat wilayah.

Beliau telah menuduh Gabenor Patani itu melakukan paksaan dan kekasaran dalam melaksanakan peraturan kebudayaan dan telah menimbulkan pelbagai masalah kepada penduduk-penduduk tempatan. Beliau berharap kerajaan pusat campur tangan supaya perasaan penduduk tempatan tidak terjejas. Bagaimanapun jawapan yang diberi oleh Setiausaha kepada Perdana Menteri itu sungguh mengecewakan. Beliau menjawab bahawa penyiasatan yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri mendapati bahawa tindakan Gabenor itu adalah betul dan tepat serta tidak menimbulkan sebarang keresahan atau kesulitankepada penduduk-penduduk tempatan.

Dasar Kebudayaan berbentuk paksaan yang dilaksanakan oleh Pibul itu telah menyinggung perasaan orang-orang Melayu. Mana-mana penduduk tempatan yang dapat bertahan menghadapi paksaan itu terus menetap di Patani sementara yang lemah semangat telah berpindah ke Kelantan. Pada masa itu Kelantan, Kedah, Terengganu dan Perlis berada di bawah pemerintahan Siam. Berikutan perletakan jawatan oleh Pibul sebagai Perdana Menteri Siam pada bulan Julai 1944, Tengku Abdul Jalal telah menulis sepucuk surat kepada Perdana Menteri Siam yang baru, Khuang Aphaiwong, dengan menekankan betapa pentingnya membuat pindaan ke atas dasar yang dikuatkuasakan ke atas orang-orang Melayu bagi mengelakkan sebarang kekacuan berlaku di empat wilayah tersebut.

Dengan sokongan Pridi Banamyong, pemangku Raja, Khuang Aphaiwong telah menghapuskan ‘Dasar Kebudayaan’. Pada 3 Mei 1945, Pridi Banamyong, telah mengisytiharkan penggubalan Akta Islam yang bertujuan memecahkan halangan di antara pemerintahan Siam dan orang-orang Islam (Nik Anuar 1994, 35). Mukadimah akta itu dengan jelas menyatakan bahawa. Oleh kerana perlembagaan Kerajaan Siam memberikan kebebasan beragama kepada rakyat dengan Raja sebagai pelindung utama agama dan menimbangkan kenyataan bahawa setengah-setengah orang Siam menganut agama Islam, adalah wajar bahawa orang-orang Islam dibantu dan diberi pelindungan dalam hal ehwal agama mereka. Akta itu juga menyatakan bahawa sebuah institusi akan dibentuk untuk menjadi badan perantaraan di antara masyarakat Islam dengan kerajaan.

Satu daripadanya ialah Pejabat Chularajamontri. Pemegang jawatan ini akan dianggap sebagai pemimpin kerohanian bagi kesemua orang Islam di Siam. Beliau akan menasihat Raja dan kerajaan dalam semua hal yang berkaitan dengan urusan agama masyarakat Islam di negara itu. Akta ini juga mengarahkan kerajaan supaya membina institusi-institusi pendidikan Islam bagi kanak-kanak Islam yang ibu bapa mereka keberatan untuk menghantar anak-anak mereka ke sekolah kerajaan sebelum ini. Akta ini juga membolehkan penubuhan "Jawatankuasa Islam Pusat Siam" di Bangkok dan juga "Jawatankuasa Islam Wilayah" di tempat yang terdapat ramai orang Islam. Anggota Jawatankuasa tersebut akan menasihati Menteri Dalam Negeri mengenai perkara-perkara yang berkaitan dengan agama Islam. Kerajaan Khuang berharap hubungan di antara kerajaan dengan orang-orang Melayu di empat wilayah di Siam Selatan itu dapat dipulihkan apabila akta tersebut dilaksanakan selepas tamatnya perang.



Perjuangan untuk Kemerdekaan dan Percantuman



Penglibatan Siam dalam Perang Pasifik di pihak Jepun (1942-45) telah meletakkan Siam ke dalam kategori negara musuh oleh pihak Berikat. Berikutan kekalahan British di Tanah Melayu serta kekalahan Amerika Syarikat di Hawaii, pada 21 Disember 1941 Pibul Songgram telah mengambil keputusan untuk memihak kepada Jepun. Sebagai ganjaran, Jepun berjanji akan menyerahkan keempat-empat buah negeri Melayu Utara – Kelantan, Kedah, Terengganu dan Perlis – kepada Siam. Pada 25 Januari 1942, Siam mengisytiharkan perang terhadap Britain dan Amerika Syarikat. Berbeza dengan Amerika Syarikat, kerajaan British memilih untuk mengiktiraf pengisytiharan peperangan tersebut dan dengan demikian meletakkan negara itu dalam keadaan perang dengan Britain. Kedudukan tersebut telah memberi peluang sekali lagi kepada orang Melayu Patani untuk berusaha mendapatkan sokongan British bagi membebaskan Patani dan wilayah-wilayah di sekitarnya daripada belenggu Siam.

Tengku Mahmood Mahyideen, putera Tengku Abdul Kadir Kamaruddin,Raja Negeri Patani yang terakhir, telah diamanahkan untuk memikul tanggungjawab tersebut.Tengku Mahmood Mahyideen dilahirkan di Patani pada tahun 1905 (Direck Jayanama 1967, 65-66; B.A. Batson 1980, 276). Beliau mendapat pendidikan awal di Kolej Assumption di Bangkok. Sebelum beliau sempat untuk menamatkan pelajarannya di kolej tersebut, Tengku Mahmood Mahyideen terpaksa berpindah ke Kelantan bersama-sama keluarganya ekoran berlakunya Pemberontakan Belukar Semak pada tahun 1923. Beliau kemudiannya melanjutkan pelajarannya di Penang Free School sehingga tamat peperiksaan Sijil Senior Cambridge. Dalam tahun 1933, beliau telah memasuki Perkhidmatan Awam Kelantan sebagai Penguasa Pelajaran Negeri.



Berikutan kematian bapanya pada tahun 1933, Tengku Mahmood Mahyideen telah mengambil alih tanggungjawab sebagai pelindung kepada orang-orang Melayu Patani. Tengku Mahmood Mahyideen adalah anggota Kelantan Volunteer Force (KVF) dengan pangkat A Company Quarter Master Sergeant. Apabila meletus perang Dunia Kedua, KVF turut terlibat secara langsung dengan 9th Indian Division untuk mempertahankan negeri Kelantan dari serangan Jepun. Berikutan kejatuhan Kelantan ke tangan Jepun pada pertengahan Disember 1941, Tengku Mahmood Mahyideen telah mengambil keputusan berundur bersama-sama tentera British ke Singapura.



Pihak British bagaimanapun gagal untuk menyekat kemaraan tentera Jepun. Pada awal bulan Februari 1942, Tengku Mahmood Mahyideen memilih untuk belayar ke India dengan menumpang sebuah kapal yang dikenali ‘S.S. Kuala.’(Kobkhua Suwanna that-Pian 1989, 276). Sebaik berada di perairan Pulau Ompong, Sumatera, kapal tersebut telah diserang oleh tentera udara Jepun dan tenggelam. Dalam peristiwa itu, Tengku Mahmood Mahyideen telah berjaya menyelamatkan dua orang anggota tentera British. Oleh kerana keberaniannya itu, Tengku Mahmood Mahyideen telah dianugerahkan pingat Order of the British Empire atau O.B.E. oleh kerajaan British selepas Perang.



Semasa di India, Tengku Mahmood Mahyideen telah berkhidmat sebagai pengelola dan penyelaras di Bahagian Melayu, All India Radio. Beliau diberi tanggungjawab untuk menerbitkan siaran Melayu yang diberi nama "Suara Harimau Malaya" yang dipancarkan ke Tanah Melayu dan sekitarnya. Beliau memakai gelaran "Raja Mopeng" dalam siaran itu (lihat The Malayan Historical Journal, no.1, 1954, 60-64). Melalui siaran ini, Tengku Mahmood Mahyideen cuba untuk membangkitkan semangat orang-orang Melayu supaya bekerjasama dengan pihak Berikat bagi menentang Jepun serta tali barutnya, Siam.



Apabila Southeast Asia Command (SEAC) ditubuhkan dalam tahun 1944,Tengku Mahmood Mahyideen telah diambil bertugas dalam Force 136 sebagai Ketua Bahagian Melayu berpangkat Mejar. Sebagai anggota Force136, beliau telah ditugaskan untuk menubuhkan Pasukan Gerila Melayu bagi menjalankan operasi anti-Jepun/Siam di pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu.Beliau telah mengambil pelajar-pelajar Melayu yang menuntut di Arab Saudi,Mesir, Jordon, Palestin, Iraq, Britain dan India bagi menganggotai Force 136.



Ketika itu Tengku Mahmood Mahyideen juga telah mengambil kesempatan untuk mempengaruhi pegawai-pegawai kanan British di India supaya mengambil kira kedudukan Patani dalam penggubalan dasar terhadap Siam.Tengku Mahmood Mahyideen berhasrat melihat Patani bebas daripada belenggu kekuasaan Siam selepas tamat perang. Daripada perbualan dengan pegawai-pegawai British yang berkhidmat di India, Tengku Mahyideen mendapat tahu bahawa kerajaan British amat marah terhadap tindakan Pibul Songgram memihak kepada Jepun dalam peperangan itu. Pada pandangan British, Siam bukan sahaja telah melanggar Perjanjian Bangkok 1909 mengenai kedudukan Negeri-negeri Melayu Utara tetapi juga tidak menghormati Perjanjian Tidak Menceroboh yang dimeterai dalam bulan Jun 1940. Oleh sebab itu juga kerajaan British enggan mengeluarkan sebarang kenyataan mengenai masa depan Siam walaupun kuasa-kuasa lain telah membuat demikian.



Antara cadangan awal yang diterima oleh Jawatankuasa Hal Ehwal Luar British berhubung Siam adalah yang dikemukakan oleh Sir Josiah Crosby, bekas Menteri British di Bangkok. Beliau mencadangkan supaya kerajaan British mengenakan hukuman seberat mungkin ke atas Siam kerana bersubahat dengan Jepun. Beliau mencadangkan supaya Siam diletakkan di bawah pengawasan Bangsa-bangsa Bersatu untuk beberapa ketika selepas perang nanti. Bagaimanapun, cadangan yang berkaitan dengan Selatan Siam telah dikemukakan oleh Sir George Maxwell, bekas ketua Setiausaha bagi Negeri-negeri Melayu Bersekutu dan Negeri-negeri Selat. Dalam memorandum yang dikemukakan kepada Pejabat Tanah Jajahan British pada awal Mac 1943 bertajuk "Masa Depan Segenting Kra" (Nik Anuar 1994), Maxwell mencadangkan supaya kerajaan British mengambil alih Segenting Kra atas alasan keselamatan. Pada pendapat Maxwell, wilayah itu merupakan "tumit Achilles" bagi Empayar British, iaitu Tanah Melayu dan Burma. Di wilayah inilah Jepun telah mendaratkan tenteranya dan berjaya menghancurkan pertahanan British di Tanah Melayu dan juga Burma.



Beliau menegaskan pembinaan terusan di Segenting Kra akan memberi ancaman secara langsung ke atas Singapura. Beliau menegaskan adalah tidak begitu sulit bagi British untuk mengambil wilayah itu kerana dari segi etnik, kebanyakan daripada penduduk-penduduk di wilayah itu terutamanya wilayah Patani, Yala, Narathiwat dan Setul adalah terdiri daripada orang-orang Melayu yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang-orang Melayu di Semenanjung. Cadangan Maxwell itu mendapat perhatian pihak Pejabat Tanah Jajahan di London. Pejabat Tanah Jajahan berpendapat tidak akan timbul sebarang masalah dari segi sosial untuk menjadikan wilayah-wilayah Melayu di Selatan Siam sebagai sebahagian daripada Tanah Melayu.



Bagaimanapun cadangan itu mungkin akan ditentang oleh Amerika. Untuk mengelakkan tentangan dari Amerika adalah lebih baik bagi British menubuhkan pangkalan tentera di wilayah itu, sebagaimana yang dibuat oleh Amerika di Hindia Barat. Dalam tahun 1944, kerajaan British telah membentuk sebuah Jawatankuasa yang dikenali sebagai ‘Jawatankuasa Perancangan Selepas Perang’ bagi mengkaji dasar yang sepatutnya diambil terhadap Siam. Jawatankuasa itu telah meneliti cadangan-cadangan yang dikemukakan oleh Pejabat Tanah Jajahan berhubung dengan Segenting Kra.1 Bagaimanapun jawatankuasa itu berpendapat bahawa adalah sukar bagi Britain untuk menguasai wilayah tersebut berdasarkan sikap Amerika yang berpendirian bahawa keutuhan dan kedaulatan wilayah Siam mestilah dipertahankan dan dihormati oleh semua pihak. Amerika Syarikat tidak mahu melihat wilayah Siam terjejas kecuali wilayah-wilayah yang diperolehi oleh Siam ketika perang.



Dengan demikian cadangan pengambilan Segenting Kra terpaksa diketepikan. Jawatankuasa itu tidak menolak cadangan untuk membuka pangkalan di sana tetapi cadangan itu kurang mendapat sokongan daripada pihak lain. Sebaliknya Jawatankuasa itu mencadangkan supaya ditubuhkan Misi Tentera British di Siam bagi mengawasi kerajaan Siam dalam urusan pertahanan. Sungguhpun begitu Jawatankuasa Perancang Selepas Perang menyerahkan perkara itu kepada Jawatankuasa Hal-Ehwal Timur Jauh untuk memutuskannya.



Dalam tahun 1944, Tengku Mahmood Mahyideen mula menghantar pasukannya ke Tanah Melayu. Melalui Force 136 beliau telah berjaya mengadakan hubungan dengan orang-orang Melayu Patani di Selatan Siam dan membantu mereka menubuhkan pasukan gerila bagi menentang pihak Jepun dan Siam. Mengikut rancangan Tengku Mahmood Mahyideen, apabila pihak Berikat membuat pendaratan di Selatan Siam, pasukan gerila dengan kerjasama Force 136, akan bangkit menentang Jepun dan Siam. Beliau berpendapat apabila keempat-empat wilayah ini dikuasai oleh pihak Berikat, orang Melayu Patani bolehlah merayu kepada Bangsa-Bangsa Bersatu supaya membebaskan wilayah-wilayah mereka daripada Siam sejajar dengan Perisytiharan San Francisco.



Tanpa mengetahui kedudukan sebenar mengenai pendirian British terhadap masa depan Segenting Kra, Tengku Mahmood Mahyideen telah diraikan dalam satu jamuan yang diadakan di New Delhi di mana para pengawai kanan tentera telah melahirkan harapan semoga beliau mencapai kejayaan dalam cita-citanya berasaskan Piagam Atlantik, Perisytiharan Cairo dan San Francisco.Malangnya, sebelum sempat Pihak Berikat melancarkan Operasi Zipper, pada 15 Ogos 1945, pihak Jepun telah mengisytiharkan kekalahannya dan menyerah diri tanpa sebarang syarat setelah bandar Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh tentera Berikat. Dengan demikian, operasi di Semenanjung Tanah Melayu dan Selatan Siam ditarik balik. Begitu juga keadaannya di Bangkok. Pridi Banamyong, Pemangku Raja, telah mengisytiharkan bahawa pengisytiharan perang yang dibuat oleh Pibul Songgam pada 25 Januari 1942 terhadap Britain dan Amerika sebagai tidak sah. Kerajaan Siam juga akan menyerah balik Negeri-negeri Melayu Utara kepada kerajaan British dan membayar ganti rugi kepada pihak Berikat di atas segala kemusnahan harta-benda mereka semasa perang. Bagaimanapun, Tengku Mahmood Mahyideen masih lagi menaruh harapan agar Siam dihukum oleh pihak Berikat, khususnya Britain kerana Siam bersubahat dengan Jepun.





Petisyen November 1945



Empat hari selepas tamatnya perang, M.E. Dening, wakil kerajaan British dan juga Penasihat Politik kepada Ketua Turus Angkatan Bersenjata Pihak Berikat, Lord Louis Mountbatten telah tiba di Kandy, Ceylon, bagi memulakan rundingan dengan kerajaan Siam.2 Pada 8 September 1945, Perjanjian Tentera telah ditandatangani di Kandy oleh Jeneral Senanarong mewakili kerajaan Siam sementara Lord Mountbatten, Ketua Turus Angkatan Bersenjata Pihak Berikat mewakili Pihak Berikat. (Direck Jayanama 1967, 167) Dengan termeterainya perjanjian ini, pasukan tentera Berikat telah memasuki Siambagi memberkas askar-askar Jepun.



Beberapa hari kemudian, rundingan mula diadakan di antara wakil kerajaan British dengan wakil kerajaan Siam bagi menyelesaikan masalah perang di antara kedua-dua buah negara. Telah menjadi andaian di kalangan para pemerhati politik pada masa itu bahawa Siam akan dihukum oleh pihak British kerana melanggar Perjanjian Tidak Menceroboh dan Perjanjian 1909 serta bersubahat dengan Jepun. Ada yang menjangkakan bahawa keempat-empat buah wilayah Melayu di Selatan Siam akan diambil oleh British dan digabungkan dengan Tanah Melayu (Nik Anuar 1989).



Tengku Mahmood Mahyideen kembali ke Tanah Melayu pada akhir Oktober 1945. Tanah Melayu ketika itu telah diletak di bawah pentadbiran Tentera British. Berikutan dengan pembubaran Force 136, Tengku Mahmood Mahyideen telah dilantik oleh pihak berkuasa tentera di Tanah Melayu sebagai Pegawai Hal-Ehwal Awam di Selangor dan Pahang sebelum dilantik sebagai Ketua Perhubungan Awam dan Pengelola Kawalan Makanan NegeriKelantan.



Memandangkan rundingan berhubung dengan penyelesaian masalah perang sedang berlangsung di antara British dengan Siam di Kandy, Tengku Mahmood Mahyideen telah menasihatkan Tengku Abdul Jalal, bekas Wakil Rakyat bagi wilayah Narathiwat, supaya mengemukakan rayuan kepada kerajaan British agar melepaskan empat wilayah Melayu di Selatan Siam daripada belenggu pemerintahan Siam dan digabungkan dengan Negeri-Negeri Melayu Semenanjung. Sehubungan itu, pada 1 November 1945,Tengku Abdul Jalal dan para pemimpin Melayu yang lain telah mengirim surat kepada Setiausaha Negara British bagi Tanah jajahan melalui Lord Louis Mountbatten melalui Pegawai Perhubungan Awam Kelantan, Kol. Somerville. Dalam surat itu Tengku Abdul Jalal menerangkan penderitaan yang ditanggung oleh masyarakat Melayu Patani di bawah pemerintahan Siam dan meminta agar "Negara-Negara Bersekutu" membantu mereka membebaskan keempat-empat wilayah Melayu daripada kekuasaan Siam. Mereka membuat permohonan itu berasaskan Pengisytiharan San Francisco yang menegaskan bahawa "semua negeri-negeri di bawah penjajahan sepatutnya diberi kebebasan dan penduduk-penduduk di negeri-negeri tersebut hendaklah diberi kebenaran untuk mentadbir negeri-negeri mereka dalam bentuk paling sesuai kepada mereka". Mereka menekankan bahawa;



Sesungguhnya Patani adalah sebuah negeri Melayu, yang pernah diperintah oleh raja-raja Melayu tetapi telah menjadi naungan Siam hanya sejak 50 tahun yang lalu. Sekarang negara-negara Bersekutu wajib membantu mengembalikan negeri ini kepada orang-orang Melayu semoga mereka boleh bersatu balik dengan negeri-negeri lain di Semenanjung.



Tengku Abdul Jalal mengakhiri surat itu dengan memberi amaran bahawa sekiranya Negara-Negara Bersekutu lambat membuat penyelesaian secara damai ke atas Patani dan daerah-daerahnya "sudah pasti akan menimbulkan perasaan tidak puas hati dan membahayakan penduduk Melayu pada masa depan".



Dalam surat lampiran kepada tuntutan pemimpin-pemimpin Patani itu, pegawai Perhubungan Awam di Kelantan telah mengesahkan kebenaran dakwaan mereka bahawa orang-orang Melayu di empat wilayah tersebut sememangnya ditekan dan ditindas oleh pegawai-pegawai Siam. Tuntutan pemimpin-pemimpin Melayu Patani itu bagaimanapun tidak dilayan oleh pihak British. Pihak British terpaksa memansuhkan rancangannya terhadap Segenting Kra dan Empat Wilayah bagi mengekalkan perhubungan baik dengan Siam. Ini adalah kerana Kerajaan British memerlukan bekalan beras dari Siam sebanyak 1,500,00 juta tan bagi mengatasi masalah kebuluran di Semenanjung Tanah Melayu dan di tanah jajahannya yang lain di Asia. Kerajaan British juga terpaksa akur kepada tekanan Amerika supaya keutuhan wilayah Siam dihormati. Dengan itu, persoalan Patani telah digugurkan apabila perjanjian damai ditandatangani di Singapura pada 1 Januari 1946.



Pemimpin-pemimpin Patani, khususnya Tengku Mahmood Mahyideen, amat kecewa dengan sikap British itu. Sekali lagi pada 15 Januari 1946, pemimpin-pemimpin Melayu Patani telah mengemukakan surat rayuan kepada kerajaan British meminta dipertimbangkan semula rayuan mereka supaya dibebaskan keempat-empat wilayah Melayu itu daripada pemerintahan Siam dan menggabungkannya dengan Tanah Melayu. Pihak Berkuasa tentera Tanah Melayu menyokong tuntutan itu dengan tujuan untuk memudahkan pasukan bersenjata British menjalankan operasi pembersihan terhadap saki-baki pengganas Kuomintang dan juga kongsi gelap yang bergerak di sempadan Tanah Melayu dan Siam. Dalam surat lampirannya kepada ibu pejabat Ketua Turus Angkatan Tentera Bersekutu di Singapura, mereka menganggap keadaan kacau-bilau yang berlaku di Selatan Siam memberi alasan yang kukuh untuk British membangkitkan isu itu dengan pihak Siam. Surat rayuan serta lampiran tersebut telah dikemukakan kepada Pejabat Luar British pada 31 Januari 1946 dan salinannya kepada wakil British di Bangkok.



Cadangan pihak Berkuasa Tentera di Tanah Melayu telah dibantah oleh W.R. Bird, perwakilan British di Bangkok. Beliau mengingatkan pejabat Luar British bahawa orang-orang Melayu di Selatan Siam bukan rakyat British dan juga beliau belum pernah dengar bahawa kerajaan British memberi perlindungan kepada orang-orang Melayu di tanah jajahan bukan kepunyaan British di atas pertimbangan agama. Beliau menegaskan bahawa orang-orang Melayu tidak lagi ditindas dan ditekan oleh pihak Siam. Bagaimanapun,sekiranya pihak Siam mengesyaki orang-orang Melayu di wilayah tersebut sedang menyusun gerakan pemisahan, pihak Siam tentu akan menekan mereka. Bird menasihatkan kerajaan British supaya tidak melayani tuntutan pemimpin-pemimpin Patani itu. Pihak Pejabat Luar dan juga Pejabat Tanah Jajahan British di London bersetuju dengan pandangan Bird bahawa kerajaan British tidak mempunyai sebab untuk membangkitkan masalah Patani dengan pihak kerajaan Siam. Ini kerana sejak kerajaan awam mengambil alih kuasa di negara itu tindakan telah diambil oleh kerajaan Siam untuk menyelesaikan masalah orang-orang Melayu dan masyarakat Islam di Selatan Siam. Tambahan pula, tegas seorang pegawai Pejabat Tanah Jajahan British yang lain, orang-orang Melayu di Selatan Siam bukanlah rakyat British.Walaupun begitu, beliau mencadangkan supaya wakil British di Bangkok mengambil perhatian terhadap keadaan di Selatan Siam, untuk memastikan mereka tidak kembali mengamalkan dasar kekerasan terhadap orang-orang Melayu. Pejabat Tanah Jajahan di London memandang berat tentang keadaan ini kerana Patani dan wilayah-wilayah di sekitarnya adalah bersempadan dengan Negeri-negeri Melayu Utara.



Walaupun tuntutan orang-orang Melayu Patani tidak dilayan. Akhbar-akhbar Tanah Melayu seperti Utusan Melayu telah menyiarkan berita mendakwa bahawa British berura-ura untuk mendapatkan keempat-empat wilayah di Siam Selatan (Utusan Melayu 24 januari 1946). Bagi menjaga imejnya, pihak kedutaan British di Bangkok telah mengeluarkan kenyataan akhbar pada 16 Februari 1946 menafikan dakwaan itu dan sebaliknya menegaskan bahawa "Sekiranya kerajaan United Kingdom bercadang untuk membangkitkan sebarang persoalan berhubung dengan selatan Siam, ini telah dilakukan semasa mengadakan perundingan untuk menamatkan keadaan perang di antara Siam dengan United Kingdom yang sedang berlangsung". Sikap kerajaan British itu amat mengecewakan Tengku Mahmood Mahyideen. Beliau telah menjadi mangsa kepada percaturan politik kuasa British dan Siam.





Tuntutan Autonomi dan Reaksi Kerajaan Siam



Kegagalan Tengku Mahmood Mahyideen untuk membebaskan keempat-empat buah wilayah di Selatan Siam melalui bantuan British telah menggalakkan alim ulama untuk melibatkan diri dalam arus perjuangan secara terbuka. Mereka berpendapat suasana politik antarabangsa pada masa itu menimbulkan kesukaran bagi wilayah-wilayah Melayu di Selatan Siam untuk mencapai kemerdekaan. Kerajaan British dan juga Amerika dengan rasminya telah mengakui keutuhan wilayah Siam sebagaimana yang dipersetujui dalam Perjanjian Damai pada 1 Januari 1946. Pada pendapat mereka, pilihan yang ada hanyalah menuntut Kerajaan Siam supaya memberikan hak pemerintahan sendiri atau autonomi kepada keempat-empat buah wilayah di Selatan Siam.



Salah seorang tokoh ulama yang dinamik pada masa itu ialah Tuan Guru Haji Sulung bin Abdul Kadir, Pengerusi Majlis Agama Islam Wilayah Patani. Tuan Guru Haji Sulung pernah memain peranan utama pada masa pemerintahan Pibul Songgram bagi mempertahankan kesucian agama Islam dan kebudayaan Melayu daripada dicemari oleh Dasar Kebudayaan Rathaniyom. Sebagai Pengerusi Majlis Agama Islam, Haji Sulung mempunyai hubungan erat dengan Haji Samsuddin Chaem atau Haji Chaem Promyong, Chularajamontri, Penasihat Agama Islam bagi kerajaan Siam. Chaem Promyong juga rakan rapat Pridi Banamyong, Perdana Menteri Siam (Surin Pitsuwan 1985, 150-51).



Perlantikan Pridi Banamyong sebagai Perdana Menteri Siam pada bulan Mac 1946 telah memberi harapan kepada Haji Sulung untuk menyelesaikan masalah orang - orang Melayu Patani. Sebagaimana yang dinyatakan sebelu ini, Pridi telah mengambil beberapa langkah yang memberangsangkan bagi menyelesaikan masalah masyarakat Islam di negara itu, selain daripada menggubalkan Akta Islam 1945.



Malangnya, belum pun sempat tindakan susulan diambil, Pridi, tokoh harapan masyarakat Melayu, terpaksa meletakkan jawatan sebagai Perdana Menteri berikutan tragedi kematian Raja Ananda Mahidol pada bulan Jun 1946 (Nik Anuar 1988). Pridi telah dituduh oleh musuh-musuh politiknya bersubahat dalam pakatan yang menyebabkan kematian Raja Siam. Tempat beliau telah digantikan oleh Admiral Thamrong Nawasawat. Perletakan jawatan Pridi ini telah mengecewakan Haji Sulung. Namun begitu beliau masih menaruh harapan kerajaan Thamrong akan memenuhi tuntutan orang-orang Melayu.





Tuntutan Autonomi bagi Empat Wilayah



Ekoran tercetusnya rusuhan di Kampung Belukar Semak serta rayuan pemimpin-pemimpin Patani, kerajaan Thamrong telah bersetuju menghantar rombongan penyiasat bagi mengkaji keadaan di empat wilayah tersebut. Suruhanjaya Penyiasat itu diketuai oleh Nai Prakob Bunyaprasop, Gabenor Bahagian Selatan. Turut menganggotai Suruhanjaya itu ialah Chaem Promyong atau Haji Samsuddin dan Abdullah Long Puteh wakil rakyat Setul. Suruhanjaya telah tiba di Patani pada 3 April 1947. Sebelum ketibaan suruhanjaya itu, Haji Sulung telah mengadakan perjumpaan dengan ahli-ahli Majlis Agama Islam, ulama dan orang-orang kenamaan seluruh Patani pada 1 April untuk merumuskan apa-apa hasrat dan cadangan dari pihak masyarakat Islam Patani kepada suruhanjaya tersebut. Rumusan dari perbincangan itu, Haji Sulung membuat keputusan untuk mengemukakan tujuh tuntutan kepada kerajaan Siam seperti berikut:



1. Perlantikan seorang individu sebagai wakil kerajaan Siam yang berkuasa penuh untuk mentadbir keempat-empat buah wilayah tersebut, iaitu Patani, Yala, Narathiwat dan Setul dan mempunyai kuasa memecat, menggantung atau mengganti pegawai-pegawai kerajaan. Individu ini hendaklah dilahirkan di salah satu daripada keempat-empat buah wilayah tersebut dan perlantikannya hendaklah dengan persetujuan para penduduk di wilayah-wilayah tersebut.



2. Lapan puluh peratus daripada pegawai kerajaan yang akan berkhidmat di wilayah-wilayah tersebut mestilahberagamaIslam.


3. Bahasa Melayu dan bahasa Siam hendaklah dijadikan sebagai bahasa rasmi.


4. Bahasa Melayu hendaklah dijadikan bahasa pengantar di sekolah-sekolah rendah.


5. Undang-undang Islam hendaklah diiktiraf dan dikuatkuasakan di mahkamah Syariah.


6. Kesemua hasil dan pendapatan yang diperoleh daripada keempat-empat buah wilayah itu hendaklah digunakan di wilayah yang berkenaan.


7. Pembentukan sebuah badan yang mempunyai kuasa penuh untuk mengurus kesemua hal-ehwal orang Islam yang berada di bawah tanggungjawab Ketua Negeri (Muhammad Kamal K. Zaman 1996, 17).



Daripada tuntutan itu jelas bahawa Haji Sulung tidak memperjuangkan sebuah negara yang merdeka tetapi sebuah kerajaan autonomi yang mempunyai identiti kebudayaan dan politik yang tersendiri di dalam lingkungan wilayah Melayu. Tuntutan Haji Sulung bagi mendapatkan 80% daripada Pegawai Kerajaan yang beragama Islam untuk berkhidmat di wilayah-wilayah ini bertujuan memastikan tidak akan berlaku sebarang salah faham yang boleh menimbulkan kekacauan di wilayah-wilayah tersebut. Masalah besar yang dihadapi pada masa yang lalu ialah pegawai-pegawai kerajaan, yang kebanyakannya beragama Buddha datang dari wilayah-wilayah lain.



Selain itu, mereka tidak memahami tentang masyarakat, adat-resam dan tatasusila orang Melayu. Mereka tidak dapat menjalankan tanggungjawab dengan sempurna kerana masalah bahasa. Keadaan ini menyebabkan perhubungan di antara pihak pemerintah dengan rakyat menjadi renggang. Sebarang arahan dan maklumat yang disampaikan kepada rakyat sering menimbulkan kekeliruan dan salah faham. Tambahan pula, terdapat juga pegawai-pegawai Siam yang memandang rendah terhadap penduduk-penduduk tempatan. Mereka menganggap orang-orang Melayu sebagai kurang cerdik dan pemalas. Selain itu terdapat juga aduan bahawa pegawai-pegawai Siam terlibat dalam kegiatan jenayah seperti rasuah dan peras ugut. Memandangkan keadaan ini, Haji Sulung berpendapat dengan melatih orang-orang Melayu tempatan sebagai pentadbir, masalah-masalah yang dialami oleh penduduk-penduduk tempatan dapat diatasi.



Berhubung dengan masalah bahasa, Haji Sulung berpendapat oleh kerana majoriti penduduk di wilayah itu terdiri daripada bangsa Melayu maka sewajarnya bahasa Melayu juga dijadikan bahasa rasmi di samping bahasa Siam. Beliau juga menuntut supaya bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah kerajaan. Pada pandangan Haji Sulung, hanya dengan cara itu sahaja kedudukan bahasa Melayu dapat dipertahankan.



Dalam hal isu mengenai perundangan Islam dan Mahkamah Syariah, Haji Sulung menuntut supaya kerajaan menyerahkan tanggungjawab itu kepada para ulama untuk menguruskannya. Haji Sulung menganggap campur tangan kerajaan Siam dalam hal ehwal perundangan Islam adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Justeru, beliau menuntut supaya Mahkamah Syariah diasingkan daripada kawalan kerajaan.



Dalam mesyuarat yang diadakan dengan suruhanjaya itu, Haji Sulung telah menyerahkan tuntutan rakyat Patani itu. Chaem Promyong atau Haji Mustapha Samsuddin, selaku Chularajamontri, berjanji akan mengemukakan tuntutan tersebut kepada pihak Kerajaan Siam. Malangnya, kerajaan Thamrong bersikap dingin terhadap tuntutan Haji Sulung itu. Dalam jawapannya pada 9 Ogos 1947, melalui surat Kementerian Kehakiman, kerajaan Siam memaklumkan bahawa kerajaan tidak dapat meluluskan tuntutan untuk memisahkan mahkamah syariah dari mahkamah sivil dan juga tuntutan autonomi dengan alasan ia mengubah perlembagaan negeri (Muhammad Kamal K. Zaman 1996, 19).



Perlu juga disebutkan di sini bahawa semasa Haji Sulung mengemukakan tuntutannya, kerajaan Thamrong sedang menghadapi krisis politik dalaman. Pada bulan Mei 1947, pemimpin pembangkang dari parti Demokrat, Khuang Aphaiwong telah mengemukakan undi tidak percaya terhadap kerajaannya (Nik Anuar 1988; Straits Times, 30 Okt. 1947). Dalam keadaan demikian amatlah tidak wajar bagi Thamrong untuk menerima tuntutan Haji Sulung.



Ini kerana jika tuntutan itu diterima ia akan memburukkan lagi suasana politik di Bangkok. Thamrong Nawasawat, Perdana Menteri Siam, mempunyai pandangan politik yang berbeza daripada Pridi berhubung masalah masyarakat minorit. Beliau agak keberatan untuk menerima tuntutan mewujudkan sebuah badan pentadbiran khas bagi keempat-empat wilayah di selatan Siam di bawah tanggungjawab seorang pesuruhjaya tinggi yang beragama Islam.



Beliau berpendapat, dengan menerima tuntutan itu, kerajaan tidak akan lagi mempunyai hak ke atas wilayah tersebut. Di samping itu, sekiranya permintaan orang-orang Melayu diterima, kaum minoriti yang lain juga akan membuat tuntutan yang sama. Akibatnya integrasi nasional akan terjejas. Kerajaan Thamrong sebaliknya membuat peraturan baru bagi orang-orang Islam di empat buah wilayah, iaitu melantik Datuk Yutitam menjadi kadi di wilayah berkenaan yang juga menjadi penasihat undang-undang sivil (Muhammad Kamal K. Zaman 1996, 1921). Datuk Yutitam bagaimanapun hanya diberi kuasa dalam hal-hal yang bersangkutan dengan pesaka, nikah cerai dan fasah sahaja dan bukan dalam hal ehwal Islam keseluruhannya.Datuk Yutitam hanya boleh memberikan pandangan sahaja kepada hakim dan hakim kerajaan boleh menerima atau menolaknya.



Selepas menerima jawapan itu, Haji Sulung bertindak balas dan terus mendesak kerajaan Siam dengan tujuh tuntutan itu. Pihak kerajaan cuba meredakan ketidakpuasaan itu dengan menawarkan jawatan berkenaan kepada Haji Sulung. Haji Sulung tetap menolak. Ekoran penolakan tuntutan itu Haji Sulung menjalankan kegiatannya di masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok bagi menggerak dan menanam semangat di kalangan rakyat Melayu Patani.



Pada awal Oktober 1947 seorang wartawan British, Barbara Whittingham-Jones, melawat Patani. Beliau mengadakan pertemuan dengan Haji Sulung. Barbara telah di bawa melawat tempat-tempat bersejarah di sekitar Patani, termasuk Kampung Belukar Semak tempat berlakunya pertempuran antara orang-orang Melayu Patani dengan askar-askar Siam pada pertengahan tahun 1946. Pada 3 November 1947, Barbara telah menyiarkan berita tentang penindasan di Patani dalam akhbar Straits Times. Semenjak itu, Patani mula menjadi perhatian masyarakat antarabangsa. Dari saat itu juga pihak berkuasa Siam tempatan mula memusuhi Haji Sulung.





Rampasan Kuasa Tentera dan Penahanan Haji Sulung



Pada waktu Thamrong sedang berusaha mengatasi masalah orang-orang Patani, kerajaannya telah digulingkan oleh junta tentera yang dipimpin oleh Jeneral Phin Chuhawan pada 8 November 1947 (Nik Anuar 1998). Pridi Banamyong dan Thamrong telah berjaya menyelamatkan diri daripada ditahan oleh junta tentera. Kedua-dua tokoh tersebut, termasuk Chaem Promyong, telah berlindung di Kedutaan British. Dengan bantuan Duta British dan Amerika, Pridi dan Chaem telah belayar ke Singapura; sementara Thamrong pula bersembunyi di pangkalan tentera laut di Sattahip. Sementara itu, junta tentera telah melantik Khung Aphaiwoang, pemimpin Parti Demokrat, sebagai Pemangku Perdana Menteri sehingga pilihan raya kebangsaan diadakan pada bulan Januari 1948, manakala Pibul Songgram, bekas Perdana Menteri dan pemimpin Parti Thammathipat, telah dilantik semula sebagai Ketua Turus Angkatan Bersenjata Siam.



Kepulangan semula Pibul Songgram di dalam arena politik kurang disenangi oleh kuasa-kuasa besar Eropah khususnya Britain, Amerika Syarikat dan Perancis. Mereka beranggapan tindakan tentera merampas kuasa daripada kerajaan yang sah sebagai suatu yang bercanggah dengan prinsip demokrasi. Mereka juga bimbang Kerajaan Siam, atas hasutan Pibul, akan mengamalkan dasar ekonomi yang boleh menjejaskan kepentingan mereka di negara itu seperti yang pernah berlaku pada zaman pemerintahan Pibul (1938-44). Di antara kesemua kuasa Eropah, Perancislah yang paling bimbang dengan kemunculan semula Pibul. Kerajaan Perancis bimbang Kerajaan Siam akan mengamalkan dasar iridenta ke atas wilayah Perancis di Indochina. Justeru Perancis mencadangkan agar kuasa-kuasa Barat memanggil pulang duta masing-masing dari Bangkok sebagai tanda bantahan mereka terhadap rampasan kuasa tersebut. Malahan Perancis juga mencadangkan supaya sekatan ekonomi dikenakan ke atas Siam selagi Pibul Songgram dan pihak tentera berkuasa. Amerika dan Britain bagaimanapun menolak cadangan itu dan sebaliknya memutuskan untuk tidak mengiktiraf rejim itu sehingga pilihan raya diadakan. Untuk sementara waktu, perhubungan di antara Siam dengan kuasa-kuasa besar adalah bertaraf de jure saja.



Kepulangan Pibul Songgram dan junta tentera di dalam pemerintahan telah menimbulkan kebimbangan di kalangan orang Melayu. Orang Melayu masih tidak lupa dengan kekejaman Pibul semasa melaksanakan Dasar Kebudayaan berbentuk paksaan semasa pemerintahannya dulu dan bimbang Pibul akan menghidupkan semula dasar kebudayaan itu (Nantawan Haemindra 1976). Dengan demikian, bukan sesuatu yang menghairankan ketegangan memuncak semula di keempat-empat wilayah tersebut. Mereka yang lemah semangat telah mengambil pilihan untuk berhijrah ke Kelantan.



Melihat keadaan ini, Ku Muda Putra, seorang anggota Majlis Perhimpunan, pernah menasihatkan Kerajaan Siam supaya menerima tuntutan Haji Sulung untuk mewujudkan pemerintahan otonomi di keempat-empat wilayah tersebut.Beliau menjelaskan bahawa orang Melayu di keempat-empat buah wilayah di Selatan Siam tidak bercadang untuk berpisah dari Siam. Apa yang mereka mahukan ialah sebuah rumah mereka sendiri tetapi dalam pagar yang sama.





Mesyuarat di Pantai Semut Api



Perkembangan politik yang berlaku di Bangkok sendiri telah memaksa para pemimpin Patani menilai semula strategi yang patut diambil bagi mencapai matlamat perjuangan mereka. Pada 12 Disember 1947, Haji Sulung telah mengadakan pertemuan dengan Tengku Mahmood Mahyideen di Pantai Semut Api, Kota Bharu, Kelantan, bagi mengkaji tindakan yang perlu diambil untuk membebaskan Patani daripada penjajahan Siam dalam suasana perubahan politik negeri Siam ketika itu.



Pada masa itu Tengku Mahmood Mahyideen baru saja pulang dari Indonesia kerana mengikuti rombongan wartawan akhbar Utusan Melayu untuk meninjau perkembangan politik di sana. Semasa di Jakarta, Tengku Mahmood Mahyideen juga telah mengambil kesempatan berbincang dengan pemimpin-pemimpin Indonesia, seperti Presiden Soekarno dan Timbalannya, Dr. Hatta tentang masa depan serta nasib orang-orang Melayu di Selatan Siam. Dalam perbincangan yang singkat itu, para pemimpin Indonesia tidak dapat menyalurkan bantuan kepada perjuangan rakyat Patani memandangkan Indonesia masih lagi dalam arus perjuangan menentang Belanda serta juga sibuk mengurus hal-ehwal dalam negeri. Sebaliknya, mereka menasihatkan Tengku Mahmood Mahyideen supaya meminta bantuan dari pihak British.



Turut hadir di mesyuarat yang diadakan di Kota Bharu itu ialah Tengku Abdul Kadir Putera dan Tengku Abdul Jalal. Tengku Mahmood Mahyideen memberitahu Haji Sulung bahawa mereka mempunyai dua pilihan tentang masalah memperjuangkan pembebasan Patani, iaitu sama ada dengan cara pemberontakan bersenjata atau melalui rundingan. Pilihan lain ialah mengisytiharkan kemerdekaan. Dalam mesyuarat itu juga Tengku Mahmood Mahyideen memaklumkan bahawa Pridi Banamyong pernah menulis surat kepadanya meminta bantuan bagi melancarkan mengetuai pemberontakan menentang rejim tentera pimpinan Pibul Songgram. Sekiranya pemberontakan itu berjaya, Pridi berjanji akan memenuhi tuntutan seperti yang dikemukakan oleh Tuan Guru Haji Sulung supaya keempat-empat wilayah di Selatan diberi hak pemerintahan sediri. Bagaimanapun Tengku Mahmood Mahyideen berpendapat orang-orang Melayu tidak mempunyai keupayaan untuk bangkit memberontak menentang rejim tentera kerana dua sebab utama, pertama kerana kekurangan alat senjata, dan kedua kerana ketiadaan sokongan antarabangsa.



Sungguhpun kerajaan British tidak mengiktiraf rejim Aphaiwong yang didokong oleh tentera, British tidak akan merestui sebarang tindakan yang boleh mencetuskan kekacauan di negara itu yang boleh menjejaskan kepentingan ekonomi British serta bekalan dan pengeksportan beras. Pada hematnya, orang-orang Melayu hendaklah terlebih dahulu berusaha menyelesaikan masalah itu secara perundingan dengan pihak Siam di samping berusaha mendapatkan sokongan masyarakat antarabangsa.



Berhubung rundingan dengan pihak Siam, Tengku Mahmood Mahyideen menyatakan bahawa Khung Aphaiwong pernah menjemput Tuan Guru Haji Sulung dan beberapa orang pemimpin tempatan, termasuk dirinya sendiri, ke Bangkok bagi membincangkan masalah orang-orang Melayu di Patani. Pada pandangan beliau, tindakan mengisytiharkan kemerdekaan tidak akan membawa sebarang erti sekiranya kuasa-kuasa besar tidak merestuinya.Sebaliknya langkah tersebut akan membawa lebih banyak kemudaratan terhadap perjuangan mereka. Oleh yang demikian, pilihan yang ada pada mereka ialah terus berusaha menyelesaikan masalah itu secara rundingan ataupun mengikut lunas-lunas perlembangaan Siam.



Selepas dibahaskan dengan mendalam, mereka mengambil keputusan menyokong cadangan Tengku Mahmood Mahyideen untuk menyelesaikan masalah Patani secara rundingan. Oleh kerana Tengku Mahmood Mahyideen lebih banyak mempunyai pengalaman dalam urusan antarabangsa serta dikenali ramai, Tuan Guru Haji Sulung telah menyatakan persetujuannya untuk melantik beliau sebagai wakil orang-orang Melayu Patani sekiranya pihak Siam bersetuju untuk mengadakan rundingan bagi menyelesaikan masalah orang-orang Melayu Patani itu.



Sekembalinya ke Patani, Haji Sulung telah mengadakan perbincangan dengan para pemimpin tempatan tentang keputusan mesyuarat tersebut yang mencadangkan untuk melantik Tengku Mahmood Mahyideen sebagai wakil orang-orang Melayu. Mereka juga bersetuju untuk melantik Tengku Mahmood Mahyideen sebagai ketua Negeri ataupun Gabenor bagi keempat-empat buah wilayah di selatan Siam sekiranya kerajaan Siam bersetuju untuk memberi hak pemerintahan sendiri kepada mereka. Bagi mengesahkan perlantikan itu, Tuan Guru Haji Sulung telah membuat surat perlantikan secara rasmi dengan mendapat pengesahan daripada empat puluh orang pemimpin Melayu tempatan.



Surat perlantikan itu berbunyi seperti berikut: Hadzaratul muhtaram Che Mahmood Mahyideen bin Abdul Kadir bekas Sultan Petani. Adalah kami umat Melayu yang di bawah perintahan kerajaan Siam mema’lom kan bahwa kami sekarang tidak lagi berkuasa hendak menanggong akan ke’azapan tindihan dan kezaliman yang dihempaskan ka-atas kami sekalian oleh pegawai2 kerajaan Siam baik pada diri masing2, kaum bangsa dan ugama bagaimana yang terma’lom itu sungguh pon kami sekelian telah beberapa kali mengangkat kan surat2 rayu hal dan teriak tangis kepada penguasa kerajaan Siam meminta dan tujuan hendak menghilangkan bangsa Melayu Ugama Islam yang kami kasihi itu tetapi tidak juga dapat apa2 timbangan yang diberi puas hati kami. Maka dengan surat ini kami mewakili dengan sepenuh2nya meminta ada tulong akhtiar kan barang apa hal pon yang patut dan layak pada pandangan Inche supaya kami boleh hidop di dalam dunia ini sebagai manusia yang didalam nya pada segala hak2 kema’nusiaan dan bangsa Melayu yang berugama Islam. Maka dengan kehendak dan tujuan ini lah kami dengan suka hati dan kehendak masing2 menurun kan tanda tangan dibawah ini tanda mengsah kan kasukaan kami masing2 akan perwakilan yang tersebot diatas ini.



Tindakan Haji Sulung mengadakan mesyuarat dengan Tengku Mahmood Mahyideen di Kota Bharu telah mendapat perhatian serius pihak berkuasa Siam di Patani. Justeru, pada hari Jumaat, 16 Januari 1948 Gabenor Patani telah mengarah agar Haji Sulung ditangkap di atas tuduhan ‘terlibat dalam pakatan untuk memisahkan keempat-empat buah wilayah di Selatan daripada pemerintahan Siam dan juga menubuhkan pasukan gerila bagi menimbulkan kekacauan di wilayah tersebut’(PKPIM 1970). Berikut adalah catatan Tuan Haji Sulung mengenai penahanannya;



Pada hari Jumaat 16 Januari 1948, berserta dengan beberapa orang mata-mata ka-rumah saya ia-lah pesurohnya daripada Piaratna Pakdi, Pesuruhjaya Patani serta membawa surat memberi perentah suroh tangkap saya dan suroh pereksa bilek2 rumah dengan sebab saya membuat surat wakil kapada Tengku Mahmud Mohyideen bin Tengku Abdul Kadir, Raja Patani berkenaan dengan tujoh buku (perata) tuntutan rakyat Patani kepada kerajaan Siam. Ialah dengan persetujuan rakyat jelata Patani suka berwakil kapada nya supaya boleh berunding dan berkirakan tuntutan yang telah di-hantar kapada kerjaan pada 3 April 1947. Maka dengan sebab surat wakil itu-lah boleh Kaluwong (Pesuruhjaya) memberi perentah suroh tangkap saya ini…’



Mengikut Tuan Guru Haji Sulung, penahanannya juga mempunyai kaitan dengan isu pilihan raya yang dijadual akan berlangsung pada akhir bulan Januari 1948. Beliau mencatat:



pada hal sebenar-nya tujuan dia tangkap itu semata2 untuk diri sendiri ia mengambil kekausaan Kerjaan buat pakai untok diri sebab dia datang terima jawatan Kaluwong chuma 16 hari boleh tangkap saya. Sebab-nya ada-lah pada masa dia dudok di Bangkok ada menulis surat kapada saya minta tolong kira dengan rakyat Patani boleh di-pileh dia menjadi wakil bagi rakyat Patani supaya boleh masok meshuarat di-dalam Majlis Parlimen di-Bangkok oleh kerana saya dengan dia ada berkenalan benar pada masa dia memegang jawatan Kaluwong di-Patani pada masa 18 tahun dulu. Maka pada masa itu saya tak ada peluang boleh tolong dia dengan sebab Kun Charoen Sokseng, sa-orang sangat rapat dengan saya berkehendak jadi wakil bagi rakyat Patani di-dalam masa 18 tahun dulu. Tidak upaya mau menolong dia dan dengan sebab itu ada ingatan marah kapada saya boleh datang tangkap itu."



Beberapa hari kemudian, kerajaan Siam telah mengeluarkan kenyataan berhubung dengan penahanan Tuan Guru Haji Sulung. Dengan kenyataan ini, pihak Siam berharap keadaan akan kembali reda. Kenyataan itu berbunyi seperti berikut:



Raja Negeri Patani memberi kecerapan kepada sekalian umat2 Patani. Mengikut bagaimana yang kerajaan tangkap dan tahan Haji Sulung bin Haji Abdul Kadir pada hari Jumaat 16 haribulan Mokomon 2491 itu ialah disebabkan Haji Sulung menjalankan perkerjaan yang salah bagi undang-undang kerajaan dengan secukup2nya terang serta cukup dengan beberapa keterangan. Oleh sebab yang demikian ahli2 jawatan yang berkuasa menahankan Haji Sulung ke dalam tahan kerana memeriksa saksi2 buat mengesahkan hati dengan secukup2 adil mengikut bagaimana peraturan dengan secukup2nya.Adapun yang kerajaan tahan Haji Sulung bin Haji Abdul Kadir di dalam tahanan itu tidak sekali2 bersabit dengan perkara agama. Oleh yang demikian berharaplah kepada sekalian umat2 Patani ketahui dengan ingatan yang sempurna, serta di minta jangan bersusah hati dan tetapkanlah hati dengan setetapnya. Jangan sekali percaya di atas cakapan yang bukan2 bagi mereka yang sengaja hendak mengelirukan faham masing-masing.



Kegagalan pihak berkuasa Siam untuk membebaskan Haji Sulung dengan ikat jamin telah mencetuskan tunjuk perasaan di hadapan Pejabat Gabenor Siam di Patani oleh pengikut-pengikut Tuan Guru Haji Sulung. Pihak Polis Siam telah bertindak dengan menahan pemimpin-pemimpin tunjuk perasaan tersebut, termasuklah Wan Osman, pemimpin Persekutuan Semangat Patani dan Wan Muhammad Amin. Pihak berkuasa Siam juga menahan sesiapa saja yang disyaki menyokong perjuangan Tuan Guru Haji Sulung. Ada juga di antara mereka yang ditembak dan hilang dalam keadaan yang penuh misteri.



Sehubungan dengan hal ini, Tengku Hussein bin Tengku Pit, seorang ahli keluarga Tengku Mahmood Mahyideen pernah menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya pada masa itu.



Two or three months ago 5 policemen came to my house about 8 a.m. and searched the whole place but found nothing. I was taken to the police station, searched and asked whether I knew Haji Sulung of Patani, to which I replied that I did. I was allowed to go but was told that my movements in future would be reported. From then on my house was frequently entered at night by the police and searched. I am the licensed holder of a firearm and I went to the Amphur and said that if people kept coming into my house at night I was liabled to shoot them where upon he of course removed my revolver. I was later warned by police corporal that the Siamese were after my blood as I was a friend of Tengku Jalal and Muhyideen and that I would certainly be shot. He warned me not to leave my house if I was called for by the Amphur or by the police at night as he was aware of an arrangement to have me shot.



Ekoran daripada ketegangan itu, pihak berkuasa Siam telah memperketat-kan kawalan di sempadan Kelantan-Narathiwat. Selain itu, pihak berkuasa imigresen Siam juga telah menghentikan pengeluaran pas sempadan kepada penduduk-penduduk tempatan. Oleh kerana bimbang dengan kemungkinan tindak balas yang lebih keras daripada pihak berkuasa Siam, beberapa kumpulan pertahanan diri telah ditubuhkan oleh orang-orang Melayu di merata-rata tempat di Patani, Yala dan Narathiwat. Kumpulan-kumpulan kecil ini ialah Kumpulan Parang Panjang, Kumpulan Sabilillah, Kumpulan Selendang Hitam, Kumpulan Selendang Merah dan seumpamanya.5 Kumpulan-kumpulan ini telah bertindak dengan menyerang balai-balai polis Siam yang terpencil, membakar sekolah-sekolah Siam dan bangunan-bangunan kerajaan yang lain.



Pertempuran juga telah berlaku di antara kumpulan-kumpulan tersebut dengan pasukan keselamatan.
Perkembangan yang berlaku di Patani turut membimbangkan Tengku Mahmood Mahyideen. Beliau bimbang sekiranya satu tindakan tidak diambil untuk membebaskan Tuan Guru Haji Sulung serta rakan-rakannya daripada tahanan Siam, kemungkinan besar kekacauan akan berlaku di wilayah tersebut.



Dengan itu, Tengku Mahmood Mahyideen telah mengarahkan Tengku Abdul Jalal supaya menubuhkan sebuah Jawatankuasa yang dikenali sebagai "Jawatankuasa perwakilan Orang-orang Melayu selatan Siam"bagi mengendalikan masalah serta kebajikan orang-orang Melayu Patani, khususnya pemimpin-pemimpin Melayu Patani yang ditahan di Patani. Antara tindakan awal yang diusahakan oleh Jawatankuasa ini ialah mengirim kawat kepada Khuang Aphaiwong, Perdana Menteri Siam pada 16 Februari 1948 yang merayu supaya Tuan Guru Haji Sulung dibebaskan. Kawat itu berbunyi seperti berikut:



Pertimbangan penangkapan dan penahanan Haji Sulung dan lain-lain sebagai bertentangan dengan prinsip keadilan. Selepas satu bulan dalam tahanan belum ada tuduhan terhadap mereka. Bukti menunjukkan kekerasan dan ancaman untuk merekakan tuduhan terhadap mereka. Kami meminta mereka dibebaskan segera.



Kawat juga telah dihantar kepada Setiausaha Agung Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu yang merayu supaya badan dunia itu campur tangan untuk mengelakkan daripada berlaku pertumpahan darah dan kesengsaraan ke atas penduduk-penduduk di keempat-empat buah wilayah di Selatan Siam. Dalam kawat kepada kerajaan British dan Perancis, Jawatankuasa meminta mereka tidak mengiktiraf rejim Khuang Aphaiwong sehingga Haji Sulung dibebaskan.



Selain itu, ia juga menuntut agar pungutan suara diadakan di Selatan Siam untuk menentukan hasrat orang-orang Melayu Patani sama ada mereka mahu berada di dalam pemerintahan Siam ataupun menyertai Persekutuan Tanah Melayu. Dalam masa yang sama sebuah kenyataan telah dikeluar disebarkan di seluruh Patani atas nama ‘Bumiputra Patani’ menyeru umat Melayu Patani untuk berjuang menuntut kebebasan dan keadilan.




Gabungan Melayu Patani Raya (GEMPAR)



Pada awal bulan Februari 1948, dengan kerjasama parti Kebangsaan Malaya Cawangan Kelantan, jawatankuasa perwakilan Orang-Orang Melayu Patani telah mengadakan perjumpaan di Kota Bharu bagi membincangkan masalah orang-orang Melayu Patani.10 Mesyuarat itu yang telah dihadiri oleh seramai 500 orang peserta telah memutus untuk menubuhkan sebuah persatuan bagi orang-orang Melayu Patani yang dikenali sebagai "Gabungan Melayu Patani Raya" atau GEMPAR. Matlamat GEMPAR adalah seperti berikut:



1. Untuk menyatukan keempat-empat wilayah iaitu Patani, Yala, Narathiwat dan Setul sebagai satu negara Islam dan melepaskan kesemua orang-orang Melayu yang berada di keempat-empat wilayah itu daripada penghinaan, penindasan, ketindihan, keperahan dan penganiayaan ke atas diri masing-masing, bangsa dan agama.

2. Mengadakan pemerintahan di dalam negeri yang bersesuaian dengan kemajuan dan pendirian kebangsaan berciri kemelayuan dan adat-istiadat serta resam Melayu dan agama Islam.

3. Meninggikan taraf bangsa Melayu dan mutu kehidupan anak-anak negeri supaya tiap-tiap seorang dan sekeliannya mendapat setinggi-tinggi sifat kemanusiaan, keadilan, kebebasan dan alam pelajaran yang bersesuaian dengan tuntutan masa dan tamadun.

Walaupun didaftarkan sebagai badan kebajikan, GEMPAR adalah sebuah pertubuhan politik yang bertujuan untuk menyatukan orang-orang Melayu Patani dalam satu gerakan politik bagi membebaskan Empat Wilayah Melayu di Selatan Siam.

Ahli-ahli Jawatankuasa GEMPAR adalah terdiri daripada:

1. Tengku Ismail bin Tengku Nik – Presiden


2. Tengku Abdul Jalal bin Tengku Mutalib – Timbalan


3. Nik Mahmood bin Nik Abdul Majid – Timbalan


4. Nik Mohammed bin Abdul Rahman – Setiausaha



Tengku Mahmood Mahyideen bagaimanapun tidak memegang sebarang jawatan dalam GEMPAR kerana kedudukannya sebagai Ahli Dewan Mesyuarat negeri tidak membenarkan beliau berbuat demikian.



Kempen, Reaksi Akhbar dan Pertubuhan Politik Semenanjung



Sejak tertubuhnya GEMPAR beberapa aktiviti telah diusahakan dengan kerjasama Parti Kebangsaan Malaya untuk menyebarkan propaganda mengenai Patani.Pada bulan Mac 1948, GEMPAR telah mengeluarkan risalah bertajuk "Some Facts about Malaya in South Siam". Risalah ini telah disebarkan kepada pertubuhan politik dan juga akhbar-akhbar tempatan dan antarabangsa. GEMPAR juga mendapat sokongan daripada Barbara Whittingham-Jones, seorang wartawan British. Beliau telah menulis beberapa buah artikel dan esei dalam akhbar-akhbar antarabangsa mengenai perjuangan orang Melayu Patani.



Hasil daripada kegiatan GEMPAR, isu Patani mula mendapatkan perhatian akhbar-akhbar dan pertubuhan-pertubuhan politik di Semenanjung Tanah Melayu dan Singapura. Akhbar-akhbar dan pertubuhan-pertubuhan politik tersebut tidak melepaskan peluang untuk memberi sokongan dan menyatakan sikap pembelaan mereka terhadap nasib yang dialami oleh orang-orang Melayu di keempat-empat wilayah tersebut. Akhbar The Singapore Free Press, dalam rencana pengarangnya pada 3 Februari 1948, menganggap orang-orang Melayu di Selatan Siam sebagai "mangsa pemerintahan yang menyeleweng". Katanya (Singapore Free Press, 3 Feb 1948):Orang-orang Melayu (di selatan Siam) pada hari ini tentu berdukacita sebab bila perjanjian Bangkok ditandatangan pada tahun 1909 di mana Siam telah menyerahkan kepada Great Britain kesemua hak kedaulatan, perlindungan, pentadbiran dan kawalan seumpamanya ke atas negeri-negeri Kelantan, Terengganu, Perlis dan Kedah, Patani tidak dimasukkan. Patani akan mempunyai nasib yang lebih baik lagi daripada setengah abad di bawah penindasan, rancangan untuk menghapuskan identiti penduduk-penduduk keturunan Melayu. Selepas perang, dasar ini dihentikan dengan serta merta tetapi sekarang dasar itu telah dikuatkuasa semula.



Warta Negara pula menegur dengan keras sikap kerajaan Aphaiwong yang membiarkan tindakan yang tidak berperikemanusiaan itu dilakukan ke atas minoriti Melayu dan mendesak pertubuhan bangsa-bangsa Bersatu menghantar Suruhanjaya untuk menyiasat keadaan di wilayah itu dengan secepat mungkin (Warta Negara 3 Mac 1948). Akhbar itu juga menyeru badan-badan yang bertanggungjawab di Tanah Melayu untuk membuat sesuatu berasaskan kuasa yang ada pada mereka bagi membantu orang-orang Melayu di Selatan Siam.



Akhbar-akhbar Semenanjung juga menyiarkan berita sensasi berhubung Patani seperti rusuhan, pembunuhan dan sebagainya. Berita-berita seperti ini menarik perhatian pelbagai pihak terhadap nasib orang-orang Melayu di keempat-empat wilayah tersebut. Pertubuhan politik Semenanjung yang awal sekali memberi perhatian terhadap perjungan rakyat Patani ialah Parti Kebangsaan Melayu atau Malay Nationalist Party. Dalam mesyuaratnya di Kota Bharu pada 10 Februari 1948, Parti Kebangsaan Melayu telah mengambil keputusan untuk menyokong perjuangan rakyat Patani dan bersimpati terhadap nasib mereka (Utusan Melayu 5 Mac 1948). Mereka juga mengambil keputusan untuk merayu kepada Majlis Keselamatan Bangsa-Bangsa Bersatu. Kesatuan Melayu Singapura juga turut bersimpati dengan nasib orang-orang Melayu Patani. Dalam perjumpaannya pada 6 Mac 1948, Sardon Haji Jubir, Presiden Kesatuan Melayu Singapura, mengambil keputusan mengirim protes rasmi kepada pertubuhan bangsa-bangsa bersatu, dengan tuduhan bahawa kerajaan Siam melaksanakan dasar "Kebudayaan paksaan ke atas orang-orang Melayu" dan langkah-langkah yang diambil oleh pihak Siam bagi melaksanakan dasar tersebut (Sunday Times 7 Mac 1948). Pada 25 Mac 1948 Sardon mengemuka-kan resolusi yang diluluskan dalam mesyuarat pada 6 Mac untuk menimbangkan kedudukan orang-orang Melayu di keempat-empat wilayah di Selatan Siam kepada Lord Listowel, Pesuruhjaya Khas British bagi Asia Tenggara. Resolusi tersebut berbunyi seperti berikut:



Mesyuarat ini mengutuk langkah-langkah menindas yang dilakukan oleh kerajaan Siam bagi melaksanakan dasar tersebut dan selain dari menyatakan simpati mereka kepada mangsa-mangsa dasar yang zalim itu merayu Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu agar menimbang perlantikan Suruhanjaya bagi meneliti dan melaporkan keadaan yang wujud di negeri-negeri tersebut di Siam, dengan tujuan untuk mengadakan pungutan kuasa bagi menentukan kehendak rakyat tentang pemisahan wilayah-wilayah tersebut dari kerajaan Siam.



Hisbul Muslimin, sebuah pertubuhan Islam, juga mengutuk tindakan kerajaan Siam ke atas masyarakat Melayu di Selatan Siam (Nik Anuar 1988). Dalam mesyuarat yang diadakan di Gunung Semanggol pada 13 Mac 1948, pertubuhan tersebut telah meluluskan ketetapan untuk menghantar bantahan kepada Majlis Keselamatan Bangsa-Bangsa Bersatu, Majlis Hak Asasi Manusia, Perdana Menteri Siam dan Liga Negara Arab. Nota bantahan itu adalah seperti berikut:



We strongly protest against the closure of the vernacular and religious school ordered by the Siamese authorities in South Siam (Nik Anuar 1988), where the inhabitants are mostly Malays, whose religin is Islam. We deplore the presecutions by the Siamese authorities of the spritual leaders in the districts mentioned, thus denying freedom of faith, freedom of expression, etc. We also deplore the high-handed action and corruption of the Siamese officials in South Siam. We demand that every Siamese officials be made to answer for these actions and be punished by the Siamese Government, and we also demand that indemnity be paid for the property and lives which have been lost because of the oppression.



Di peringkat antarabangsa, GEMPAR telah dibantu oleh Barbara Whittingham-Jones, seorang wartawan British. Barbara telah menulis mengenai pergolakan di Patani dalam akhbar dan juga majalah antarabangsa sepertiakhbar The Times dan Eastern World (Jones, B.W 1948). Di samping itu, beliau juga menghubungi wakil-wakil kerajaan Arab dan Asia yang beribu pejabat di London bagi mendapatkan simpati serta bantuan untuk orang-orang Melayu Patani dan juga membawa isu itu ke pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu. Barbara telah menjadikan kediamannya di kota London sebagai ‘Rumah Patani’, pusat kegiatan GEMPAR.



Sungguhpun GEMPAR berjaya menarik perhatian masyarakat antarabangsa terhadap masalah yang dihadapi oleh orang Melayu di Selatan Siam, tetapi gagal mempengaruhi mana-mana negara Asia ataupun Arab untuk membawakan isu Patani ke Majlis Keselamatan Bangsa-Bangsa Bersatu. Kegagalan ini sedikit sebanyak telah menjejaskan prestasinya di kalangan orang Melayu Patani di Semenanjung Tanah Melayu.





Sikap Kerajaan Siam terhadap Tuntutan dan Pergolakan di Selatan Siam



Ketegangan yang semakin meningkat di keempat-empat wilayah di Selatan Siam selepas penahanan Tuan Guru Haji Sulung serta kritikan-kritikan tajam dari Tanah Melayu berhubung dengan dasar kerajaan Siam terhadap orang-orang Melayu itu telah menimbulkan keresahan kepada kerajaan Aphaiwong dan memaksanya bertindak bagi mengawal keadaan itu.Kerajaan Siam telah menghantar Phraaya Ramajbhakdi, Ketua pengarah Kementerian Dalam Negeri, untuk membuat penyiasatan. Dalam satu kenyataan yang dikeluarkannya, Menteri Dalam Negeri menafikan bahawa kekacauan besar telah berlaku di keempat-empat wilayah di selatan, seperti yang didakwa oleh akhbar-akhbar dan pertubuhan politik Semenanjung Tanah Melayu (Utusan Melayu 31 Ogos 1948).



Beliau mengakui bahawa beberapa kekacauan kecil telah berlaku di Selatan Siam. Bagaimanapun,tegasnya lagi, kekacauan itu dicetuskan oleh puak minoriti untuk kepentingan diri sendiri. Beliau menyalahkan akhbar-akhbar Tanah Melayu kerana secara sengaja membesar besarkan keadaan di Selatan Siam.



Kenyataan Menteri Dalam Negeri itu telah dibantah oleh Tengku Abdul Kadir Petra, salah seorang ahli Jawatankuasa GEMPAR. Dalam sepucuk kawat kepada Perdana Menteri Khuang Aphaiwong, Tengku Abdul Kadir Petra menegaskan bahawa: Kenyataan ini tidak benar dan menjejaskan maruah dan integriti kami. Kami mencabar pihak tuan mengemukakan bukti kepada dunia dengan mengadakan pungutan suara dengan dipengerusikan oleh pegawai-pegawai Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu tetapi kehadiran pegawai tentera dan awam kamu di kawasan yang hanya akan menakutkan penduduk yang tertindih itu.



Kenyataan Phraaya Ramajbhakdi itu juga telah dicabar oleh Senator Nai Banchong Sricaroon atau Haji Wahab dalam perbahasan di parlimen di Bangkok pada 5 Mac 1948. Inilah kali pertamanya isu Patani dibangkit dan dibahaskan di sidang parlimen. Senator Banchong menyalahkan pegawai-pegawai tadbir Siam di atas kekacauan di wilayah selatan (Liberty, 5 Mac1948).



Para pegawai tersebut bersikap keras dan menindas penduduk-penduduk tempatan sehingga mencetuskan perasaan tidak puas hati orang-orang Melayu terhadap kerajaan. Beliau menganggap pegawai-pegawai tersebut "tidak lebih daripada pengganas". Penduduk-penduduk tempatan telah ditindas dan diperas, harta-benda mereka dirampas secara paksa, rumah mereka dibakar hangus; manakala bahasa, adat-resam dan agama mereka dicabuli. Tidak ada seorang pun daripada mereka berani untuk mengadukan kejadian ini kepada pihak kerajaan kerana bimbang pegawai-pegawai berkenaan membalas dendam.



Beliau menambah: Saya tahu bahawa saya dikehendaki membuktikan dakwaan saya itu tetapi sebagai seorang Muslim dan anggota Jawatankuasa Majlis Islam Pusat, menjadi tanggungjawab saya untuk memberitahu Kementerian dalam Negeri tentang kedudukan sebenar bagi membolehkan mencari jalan untuk mengatasi keadaan itu. Bila saya diberitahu tentang keadaan di selatan, adalah sukar bagi saya untuk mempercayainya. Kementerian Dalam Negeri tidak mengambil apa-apa tindakan untuk mengatasi bila saya mengemukakan kepadanya. Sesetengah daripada mereka yang memberi laporan itu kepada saya telah dibunuh dalam keadaan yang penuh misteri, sesetengahnya pula melarikan diri ke Tanah Melayu dan menyebarkan berita bahawa penduduk-penduduk di Patani telah diberi layanan buruk oleh kerajaan Siam. Ini bukanlah persoalan gerakan pemisahan atau rusuhan. Ini adalah kes ketidakadilan di pihak pegawai-pegawai kerajaan.



Memang benar sesuatu mestilah dibuat bagi mengatasi masalah itu, tetapi itu tidak memadai. Ekoran daripada dakwaan ini, Nai Banchong Sricharoon mendesak kerajaan supaya mengambil langkah-langkah segera dan positif bagi mengatasi masalah yang dikemukakan itu. Beliau juga meminta kerajaan mengisi jawatan Chularajamontri yang telah dikosongkan oleh Chaem Promyong. Khuang Aphaiwong, dalam jawapannya, mengakui bahawa kekacauan sememangnya wujud di wilayah-wilayah selatan Siam, Beliau memberi jaminan bahawa sebuah jawatankuasa khas akan dibentuk oleh kerajaan bagi mengkaji punca kekacauan di wilayah tersebut. Menjawab dakwaan Nai Banchong tentang kezaliman pada pegawai kerajaan, beliau menegaskan bahawa kerajaan perlu membuat penyiasatan rapi sebelum sebarang tindakan diambil. Selain itu, beliau berjanji akan memperkenalkan reformasi di keempat-empat wilayah tersebut bagi mengatasi perasaan tidak puas hati penduduk-penduduk Melayu. Beliau memberi jaminan bahawa kebebasan beragama akan dihormati dan bahasa Melayu akan dibenarkan untuk diajar di sekolah-sekolah kerajaan. Beliau juga berjanji akan menukar pegawai-pegawi yang mengambil rasuah, di samping melantik seorang Muslim yang dihormati sebagai Chularajamontri bagi menasihati kerajaan dalam hal-ehwal agama Islam.



Ekoran daripada itu, Khuang Aphaiwong telah melantik Seni Pamoj, Menteri Pelajaran, untuk mengetuai Jawatankuasa Penyiasat bagi menyiasat keadaan di Selatan Siam. Beliau juga bercadang untuk mengadakan rundingan dengan Tengku Mahmood Mahyideen jika masa mengizinkan. GEMPAR, dalam ulasannya mengenai pembentukan Jawatankuasa Penyiasat, meragui sama ada jawatankuasa itu akan dapat memperoleh fakta-fakta sebenar daripada penduduk-penduduk tempatan mengenai keadaan di Patani (Singapore Free Press, 10 Mac 1948). Pengalaman yang lalu telah menunjukkan bahawa sebelum ketibaan satu-satu Jawatankuasa penyiasat seumpama itu, penduduk-penduduk tempatan telah ditekan dan diugut oleh pihak polis Siam tempatan supaya berbohong. Dengan sebab itulah GEMPAR dengan lantang menganggap pembentukan jawatankuasa penyiasat itu sebagai satu propaganda murah Kerajaan Siam. GEMPAR mengingatkan orang-orang Melayu supaya berhati-hati agar tidak tertipu dengan helah dan muslihat pihak Siam. Sehubungan isu tersebut, antara lain GEMPAR menegaskan, Rakyat adalah diingatkan bahawa ini (perlantikan Suruhanjaya Khas) adalah tindak-tanduk diplomatik yang licin di pihak kerajaan Siam bagi tujuan mengambil hati orang-orang Melayu. Tawaran itu hendaklah ditolak oleh kerana apa yang kita tuntut ialah kebebasan beragama. Kita akan melayan mereka yang menerima tawaran itu sebagai pengkhianat bangsa.



Bagaimanapun, sebelum sempat Jawatakuasa Penyiasat menjalankan penyiasatannya, Khuang Aphaiwong telah diminta oleh pihak tentera yang diketuai oleh Jeneral Phin Chunhawan supaya meletakkan jawatan dengan alasan bahawa kerajaan pimpinannya telah gagal untuk mengatasi masalah dalam negeri. Khuang Aphaiwong pada awalnya enggan tunduk kepada tuntutan pihak tentera itu tetapi beliau akhirnya bersetuju meletakkan jawatan itu. Pibul Songgram, Ketua Turus Angkatan Tentera Darat, telah dilantik sebagai Perdana Menteri oleh Majlis Pemangku Raja. Dengan perlantikan ini, Pibul Songgram telah menjadi Perdana Menteri Siam bagi kali kedua.





Kebangkitan di Kampung Dusun Nyior



Sejurus perlantikan semula Pibul Songgram sebagai Perdana Menteri Siam itu, satu pemberontakan telah berlaku di Kampong Dusun Nyior, berdekatan dengan Tanjong Mas, Narathiwat pada 26 April 1948 (Nik Anuar 1988, 245-76). Pemberontakan itu merupakan cabaran pertama yang dihadapi oleh Pibul Songgram selepas beberapa minggu memegang jawatan Perdana Menteri.



Pemberontakan itu bukanlah dirancang tetapi berlaku secara tiba-tiba akibat daripada tidakan ganas pihak polis Siam terhadap orang-orang Kampung di Dusun Nyior. Pihak Polis dikatakan telah melepaskan tembakan ke arah orang kampung yang sedang mengadakan kenduri pada 20 April 1948. Mereka mengesyaki bahawa orang-orang kampung tersebut telah bertindak balas dan memaksa pihak polis berundur ke Tanjung Mas. Dalam aduan ke ibu Pejabat, pihak polis Siam mendakwa kononnya seramai 1000 orang gerila Melayu sedang membuat persiapan untuk mengadakan pemberontakan.



Pada 25 April, seramai 60 orang anggota polis tambahan telah dihantar ke Tanjong Mas. Pada masa itu orang-orang kampung telah pun bersiap-sedia untuk menghadapi ancaman daripada pihak berkuasa Siam yang dikatakan sedang mara untuk menghapuskan orang-orang Melayu. Pasukan polis itu telah diserang hendap dan terpaksa berundur. Pada 26 April, pihak berkuasa menghantar satu lagi pasukan polis dan mengepung Kampung Dusun Nyior.



Tembak menembak berlaku. Mengikut laporan Straits Times, antara 30 hingga 100 orang telah mati ataupun cedera parah (Straits Times 27 April. 1948). Malahan ramai di antara penduduk tempatan yang telah ditahan oleh pihak polis, termasuk Kamnan Muhammad, Penggawa Tanjung Mas dan Mustapha, berasal dari Teluban. Kedua-duanya telah dihukum tembak tanpa perbicaraan.



Kekacauan yang meletus di Kampong Dusun Nyior itu membimbangkan Tengku Mahmood Mahyideen. Beliau bimbang puak pelampau akan mengambil kesempatan daripada keadaan itu untuk mencetuskan kekacauan yang lebih besar lagi. Tanpa alat senjata dan bantuan luar orang-orang Melayu tidak akan mampu untuk menentang pihak berkuasa Siam. Pada 28 April 1948, sebuah kenyataan telah dikeluarkan oleh Tengku Mahmood Mahyideen merayu orang-orang Melayu di Kampong Dusun Nyior supaya meletakkan senjata serta cuba menyelesaikan masalah mereka dengan pihak berkuasa Siam secara rundingan. Kenyataan penuh Tengku Mahmood Mahyideen adalah seperti berikut:



Saya dengan perasaan yang amat sedih dan pilu hati amat mendukacitakan tatkala mendapat berita yang ada kumpulan orang Melayu melawan kerajaan dengan kekuatan walaupun perbuatan itu tidak dengan kehendak ataupun dimulai oleh pihak rakyat. Maka adalah kejadian itu semata-mata mendatangkan kerugian antara dua pihak (pemerintah dan Rakyat) dan tidak bersesuai dengan tamadun sekarang. Jika ada apa-apa kemuskilan dan keadaan tidak puas hati hendaklah dituntut dengan jalan undang-undang dan damai.Maka dengan surat diminta sekalian enggan daripada membuat perkara yang boleh membangkitkan huru hara dan memecahkan keamanan di dalam negeri-negeri saudara itu.



GEMPAR juga telah menghantar telegram kepada Pibul Songgram untuk mendesak beliau supaya menyelesaikan masalah orang Melayu di keempat-empat wilayah tersebut. Sebagai reaksi daripada telegram itu, Pibul berjanji akan menyelesaikannya dengan segera.15 Oleh kerana bimbang keadaan itu menjadi bertambah buruk, Pibul Songgram telah menghantar Abdullah Long Puteh, juga dikenali sebagai Che Lah atau Dato Che Lah, Timbalan Menteri Pendidikan, ke Patani untuk berbincang dengan para pemimpin tempatan.




Pertemuan Abdullah Long Puteh denganTengku Mahmood Mahyideen



Pada 7 Mei 1948, Abdullah Long Puteh,dengan ditemani oleh seoranpegawai Siam,telah mengadakan pertemuan dengan Tengku MahmooMahyideen di Kota Bharu (Straits Times 29 Apr. 1948). Dalam petemuan yang singkat itu Abdullah Long Puteh memberitahu Tengku Mahmood Mahyideen tentang hasratnya untuk menyelesaikan masalah orang Melayu Patani. Sekiranya kerajaan Pibul ingin mengadakan rundingan perdamaian, Abdullah berharap Tengku Mahmood Mahyideen akan bersetuju untuk datang ke Bangkok bagi mewakili orang-orang Melayu Patani. Tengku Mahmood Mahyideen bersedia untuk mempertimbangkan cadangan itu tetapi dengan empat syarat iaitu:



1. Haji Sulung, sebagai pemimpin utama masyarakat Melayu di keempat-empat wilayah tersebut, hendaklah dibebaskan bagi membolehkannya turut serta dalam perbincangan itu.



2. Membenarkan pemimpin-pemimpin Patani yang melarikan diri ke Tanah Melayu pulang ke Siam dengan jaminan keselamatan.



3. Kawalan polis di kampung-kampung hendaklah ditarik balik.



4. Kerajaan Siam hendaklah membuat tawaran rundingan itu secara rasmi dan salinannya hendaklah dihantar kepada Duta-duta British dan Amerika.



Malangnya, cadangan Abdullah untuk mengatur pertemuan antara Tengku Mahmood Mahyideen dengan Pibul Songgram telah ditolak oleh Kabinet Siam. Kabinet Siam tidak dapat menerima syarat-syarat yang dikemukakan oleh Tengku Mahmood Mahyideen. Menteri-Menteri kabinet Siam berpendapat masalah orang-orang Melayu Patani adalah masalah dalam negeri Siam yang tidak memerlukan campur tangan luar untuk menyelesaikannya. Keengganan pihak Siam untuk mengadakan rundingan dengan Tengku Mahmood Mahyideen telah mengecewakan para pemimpin GEMPAR. Kegagalan itu juga telah menyebabkan pengaruh Tengku Mahmood Mahyideen di kalangan orang-orang Melayu Patani merosot.



Haji Sulung masih berada dalam tahanan dan tidak dibenarkan diikat jamin. Haji Sulung kemudiannya telah dipindahkan ke Nakorn Sithammarat di atas permintaan Pendakwa raya atas alasan bahawa tertuduh adalah seorang yang berpengaruh di Patani dan saksi-saksinya hendaklah bebas daripada sebarang pengaruh. Bagaimanapun perbicaraan itu terpaksa ditangguhkan kerana saksi kerajaan, Gabenor Phraya Ratanapkdi,tidak dapat hadir.





Sikap British terhadap Pergolakan di Patani



Demi menjaga hubungan baik dengan Siam, kerajaan British sedaya upaya cuba mengelak daripada mencampuri urusan politik negeri Siam, terutamanya yang berhubung dengan masalah orang-orang Melayu di empat buah wilayah. Sungguhpun begitu, ini tidak bermakna bahawa pihak British, terutamanya pihak berkuasa British di Tanah Melayu, tidak mengambil perhatian terhadap sebarang perkembangan yang berlaku di wilayah tersebut.Ini kerana sebarang kekacauan yang berlaku di wilayah tersebut sedikit sebanyak akan menjejaskan juga keselamatan negeri-negeri Melayu dalam Persekutuan Tanah Melayu.



Peristiwa penahanan Tuan Guru Haji Sulung serta pengikut-pengikutnya oleh pihak berkuasa Siam pada 16 Januari 1948 telah mendorong pihak British memberikan perhatian serius terhadap keadaan di empat wilayah, khususnya di Patani. British bimbang bahawa, sekiranya pihak berkuasa Siam meneruskan dasar penindasan terhadap orang-orang Melayu, kekacauan mungkin akan berlaku, yang mungkin melibatkan juga orang-orang Melayu di Semenanjung. Penahanan Tuan Guru Haji Sulung bukan sahaja telah menimbulkan kemarahan di kalangan pengikut pengikutnya malahan juga mendapat simpati dari kalangan pemimpin-pemimpin Melayu di SemenanjungTanah Melayu.



Pada pandangan pemimpin-pemimpin Melayu Semenanjung Tuan Guru Haji Sulung adalah seorang pejuang yang cuba mempertahankan kedaulatan agama Islam dan kebudayaan Melayu daripada dicabuli oleh pihak berkuasa Siam. Justeru isu orang-orang Melayu Patani mendapat perhatian utama bagi kebanyakan badan politik dan juga akhbar-akhbar Melayu di Semenanjung. Tetapi yang paling membimbangkan British ialah kemungkinan kesempatan itu akan di ambil leh Pridi untuk mencetuskan kekacauan bagi menjatuhkan kerajaan Khuang Aphaiwong yang didukung oleh Pibul dan sekutu tenteranya.



Oleh hal demikian, tidak hairanlah mengapa British memandang berat terhadap pergolakan di wilayah Selatan Siam. Selain daripada keinginan untuk melihat kestabilan politik wujud di negara itu, pihak British juga tidak mahu melihat perhubungan baik antara Siam dengan Tanah Melayu terjejas disebabkan oleh masalah orang-orang Melayu Patani.



Pada 5 Mac 1948, W.F Thompson, Duta British di Bangkok, telah mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Siam, Phya Srivisar, bagi membincang masalah orang-orang Melayu di Selatan Siam.1 Perlu disebutkan di sini bahawa inilah kali pertama pihak British membangkitkan masalah orang-orang Melayu Patani secara rasmi kepada Kerajaan Siam. Dalam perbincangan singkat itu, Thompson mengemukakan kebimbangan pihak British bahawa sekiranya masalah orang-orang Melayu Patani tidak diatasi kemungkinan perhubungan antara Siam dengan Tanah Melayu akan terjejas.



Sebagai bukti, beliau tegaskan bahawa akhbar-akhbar serta badan-badan politik di Tanah Melayu menuduh kerajaan Siam dengan sengaja menindas orang-orang Melayu. Dakwaan itu agak sukar disangkal kerana Perdana Menteri Khuang sendiri telah membuat pengakuan secara terbuka dalam Parlimen pada 5 March 1948 berhubung keadaan itu. Oleh itu, Thompson berharap Kerajaan Siam akan bertindak segera bagi mengatasinya.



Phya Srivisar memberi jaminan bahawa Kerajaan Siam akan berusaha mengatasi masalah orang Melayu Patani. Namun demikian, beliau menegaskan bahawa usaha Kerajaan Siam untuk mengatasi masalah itu tidak akan berjaya sekiranya Kerajaan British terus membiarkan Tengku Mahmood Mahyideen menjalankan aktivitinya yang menghasut orang-orang Melayu di Selatan Siam supaya menentang kerajaan. Pada pandangan Kerajaan Siam, Tengku Mahmood Mahyideen adalah orang yang bertanggung jawab dalam mencetuskan kekacauan di sana.





Laporan Madoc dan Reaksi Tanah Melayu



Sekembalinya ke Bangkok, Guy Madoc telah menyiapkan laporan hasil tinjauannya untuk dikemukakan kepada Kedutaan British.5 Dalam laporan itu, Madoc menyatakan bahawa kekacauan di Selatan Siam itu dilakukan oleh kedua-dua pihak – orang Melayu dan juga pihak berkuasa Siam tempatan.



Pada pandangannya yang penting ialah tentang peranan yang dimainkan oleh Tengku Mahmood Mahyideen yang dianggap oleh pihak berkuasa Siam sebagai penggerak utama gerakan anti-Siam. Tengku Mahmood Mahyideen telah didakwa oleh pihak Siam dan disahkan oleh pihak keselamatan tempatan sebagai orang yang bertanggungjawab dalam menyusun barisan bersenjata di Tanah Melayu untuk mencetuskan kekacauan di Selatan Siam. Tengku Mahmood Mahyideen juga telah didakwa membuka pusat latihan gerila di Belum, Perak. Walaupun dakwaan itu tidak dapat dibuktikan, Madoc bimbang isu itu akan menjejaskan perhubungan di antara Siam dengan Tanah Melayu.



Tambahan pula Madoc mempunyai tanggapan sendiri terhadap Tengku Mahmood Mahyideen. Beliau berpendapat, Tengku Mahmood Mahyideen adalah seorang yang kompleks dari segi peribadinya. Hal ini pernah digambarkan oleh Madoc sebagai berikut: Whilst he himself poses as the "profector" of his father’s ex-subjects, Kelantan officials who know him well consider that he is really out to feather his own nest. To the C.P.O. he has expressed the ruthlessness of his determination, declaring that he is prepared to sacrifice 500 even 1000 of the lives of his South Siam Malay followers in the struggle against Siamese dominance. He has been told in clear terms that he can expect no support from the British and the High Commissioner has warned him that he must cease his plottings on Malayan soil. He has the voice of the press, and has some experience of the art of propaganda. I suggest it likely that by exciting and exaggerating the state of unrest in south Siam he hopes to convert the British to grant him assistance.



Guy Madoc juga mendapati sebilangan besar daripada pegawai-pegawai rendah tempatan tidak jujur dan suka menindas. Beliau percaya keadaan ini adalah berpunca daripada bayaran gaji yang terlalu rendah. Maka tidak menghairankan sekiranya pegawai-pegawai tersebut terlibat dalam kegiatan jenayah seperti rasuah, peras ugut dan penyeludupan bagi menambahkan pendapatan. Beliau juga percaya bahawa pegawai-pegawai Siam itu telah menghina amalan keagamaan orang Melayu serta adat resam mereka. Orang Melayu tidak mempunyai pilihan kecuali bertindak balas bagi mempertahankan maruah mereka. Beliau bimbang sekiranya orang-orang Melayu tempatan bertindak sedemikian mereka akan terus ditindas dan dizalimi oleh pegawai-pegawai Siam yang menyeleweng itu.



Madoc berpendapat masalah orang-orang Melayu Patani dapat diatasi sekiranya rundingan secara langsung dapat diatur di antara Tengku Mahmood Mahyideen dengan pihak berkuasa Siam. Beliau yakin Tengku Mahmood Mahyideen akan menerima tawaran itu lebih-lebih lagi sekiranya rundingan itu dilakukan di bawah kelolaan bersama Kedutaan British dan kerajaan Siam. Beliau berharap kerajaan Khuang Aphaiwong akan memperbaharui tawaran itu yang pernah dibuat oleh kerajaanThamrong pada satu ketika dulu.



Usaha itu perlu disegerakan kerana keadaan di Selatan Siam tidak tenteram dan tegang. Kekacauan di wilayah tersebut bukan saja akan mencetuskan pertumpahan darah tetapi juga akan membolehkan pihak Komunis Soviet mengambil kesempatan daripada keadaan itu bagi kepentingan mereka.



Pertama, pihak Komunis Soviet dapat membuat dakwaan bahawa kerajaan British bersubahat dengan Siam untuk menindas golongan minoriti Melayu.



Kedua, membuat dakwaan bahawa pihak British membantu puak-puak anti-Siam untuk menggugat keselamatan negara itu dengan membenarkan puak-puak anti-Siam menjadikan Tanah Melayu khususnya Kelantan, sebagai pusat gerakan tersebut. Madoc juga berpendapat bahawa kegiatan anti-Siam ini akan merugikan perjuangan Tengku Mahmood Mahyideen untuk jangka panjang. Walaupun kegiatan yang dilakukan itu mampu melemahkan Kerajaan Aphaiwong tetapi dengan sendirinya membuka peluang kepada Pibul Songgram, bekas diktator yang digeruni oleh orang-orang Melayu, kembali berkuasa.



Dalam ulasannya, Whittington, pegawai Konsular British dan pada ketika itu memangku jawatan Duta, menganggap laporan Madoc sebagai "amat menganggu fikiran". Laporan itu membuktikan bahawa Tengku Mahmood Mahyideen adalah orang yang bertanggung jawab bukan saja dalam menyusun gerakan pembebasan di Selatan Siam tetapi juga menjalankan kempen anti Siam di tanahMelayu dan juga mengepalai Peetubuhan GEMPAR bagi menyebarkan propaganda. Laporan itu juga membuktikan bahawa pihak berkuasa Tanah Melayu mengetahui tentang aktiviti-aktiviti tersebut.



Berdasarkan maklumat tersebut, adalah sukar baginya untuk menerima jaminan Gent bahawa Tengku Mahmood Mahyideen telah bertindak secara berperlembagaan wujud keadaan sedemikian ‘only a small percentage of the Malay population even in the troubled area have partisan sentiments in this squabble".6 Seterusnya beliau menegaskan bahawa: Does Mr Madox really think that he would have the unique opportunity, on a fleeting visit under Siamese partronage, of withnessing specific act of oppression? Similarly, did Mr Madoc really think that all those with partisan sentiments would frankly express their views to him, unknown European under Siamese patronage?



Churchill menolak tohmahan Madoc bahawa Tengku Mahmood Mahyideen mempelopori gerakan keganasan di Patani. Churchill menegaskan bahawa setahunya Tengku Mahmood Mahyideen "was not in favour of a resistance movement which entails guerilla warfare, because he is of the firm opinion that it is foredoomed to failure and will worsen the position of the Malays in South Siam’. Berhubung dengan aktiviti propaganda, Churchill berpendapat aktiviti itu tidak bercanggah dengan peraturan undang-undang.



GEMPAR juga adalah sebuah pertubuhan yang sah dari segi undang-undang. Kol. Dalley, Pengarah Perkhidmatan Perisikan Tanah Melayu (Malayan Security Service), mengesahkan pandangan Churchill bahawa selain daripada Tengku Mahmood Mahyideen, tokoh-tokoh kiri Melayu di Semenanjung turut juga terlibat dalam gerakan Patani, seperti Ahmad Boestaman dan Abdullah C.D.7 Oleh hal demikian tohmohan dan dakwaan Madoc bahawa Tengku Mahmood Mahyideen saja yang patut dipersalahkan adalah tidak tepat.



Mesyuarat Khas di Singapura



Oleh kerana terdapat perbezaan pendapat yang agak ketara di antara pegawai-pegawai kedutaan British di Bangkok dengan pegawai-pegawai British di Tanah Melayu satu mesyuarat khas telah diadakan di pejabat Pesuruhjaya Tinggi British di Singapura pada 3 Mei 1948 bagi membincangkan masalah tersebut. Mesyuarat yang dipengerusikan oleh Malcolm MacDonald turut disertai oleh Sir Edward Gent, Guy Madoc dari Bangkok, H.N. Brain dari pejabat Suruhanjaya Besar bagi Asia Tenggara, Kol. Dalley dari Malayan Security Service dan W.F.N. Churchill, Penasihat British di Kelantan.



Mesyuarat bermula dengan penjelasan oleh Brain tentang rumusan perbincangan di antara beliau dengan Madoc dan Dalley tentang peranan Tengku Mahmood Mahyideen.8 Mereka bersependapat bahawa Tengku Mahmood Mahyideen adalah fokus utama pergerakan pembebasan Patani. Beliau juga menerangkan tentang adanya dua pandangan yang berbeza di antara Kuala Lumpur dengan Bangkok berhubung peranan dan kegiatan Tengku Mahmood Mahyideen. Pihak berkuasa Negeri Kelantan melihat masalah orang-orang Melayu Patani dari segi kesannya terhadap perkembangan politik tempatan.



Pada tanggapan mereka, selagi Tengku Mahmood Mahyideen dan pengikut-pengikutnya menghormati undang-undang serta tidak menjejaskan keselamatan Kelantan, sebarang tindakan undang-undang tidak perlu diambil ke atas beliau dan pengikut-pengikutnya. Bagaimanapun sekiranya dilihat dari sudut pejabat kedutaan British di Bangkok, keadaanya adalah berbeza sekali. Tengku Mahmood Mahyideen adalah seorang penghasut yang bertanggungjawab dalam mencetuskan kekacauan di sebuah negara jiran. Mereka hairan mengapa pihak berkuasa Kelantan tidak menghalang Tengku Mahmood Mahyideen daripada bertindak demikian.



Sir Edward Gent tidak menafikan bahawa Tengku Mahmood Mahyideen memainkan peranan cergas dalam gerakan Patani tetapi beliau mengingatkan ahli-ahli mesyuarat bahawa selain daripada Tengku Mahmood Mahyideen terdapat dua orang tokoh yang tidak kurang pentingnya dalam gerakan Patani, iaitu Tengku Abdul Jalal dan Tengku Abdul Kadir. Mengikut Gent, kedua-dua tokoh tersebut adalah "fanatically anti-Siamese".9 Beliau sendiri, melalui Menteri Besar Kelantan, telah beberapa kali menasihati Tengku Mahmood Mahyideen supaya tidak melibatkan diri dalam politik Siam.

pada pandangan Gent sekiranya tindakan yang lebih keras diambil ke atas Tengku Mahmood Mahyideen kemungkinan besar perhubungan British dengan orang-orang Melayu di Tanah Melayu akan terjejas. Kerajaan British perlu berhati-hati berhubung isu tersebut untuk mengelakkan anggapan bahawa British menyokong kerajaan Siam menindas orang-orang Melayu Patani. Beliau dan Churchill telah berusaha menasihat Tengku Mahmood Mahyideen supaya tidak melibatkan diri dalam hal ehwal negara jiran.



Perkhidmatan Keselamatan Malaya juga telah berusaha untuk menghalang pertubuhan-pertubuhan Melayu di Semenanjung daripada terlibat secara aktif dalam kekacauan di Selatan Siam. Bagaimanapun, penderitaan yang dialami oleh orang-orang Melayu Patani telah mendapat simpati yang menyeluruh daripada masyarakat Melayu di Semenanjung. Sehubungan itu, Perdana Menteri Siam Khuang Aphaiwong sendiri mengakui tentang penyelewengan dalam pentadbiran di Selatan Siam. Sungguhpun begitu, pihak berkuasa Siam masih juga tidak berusaha untuk menjawab dakwaan-dakwaan yang disiarkan dalam akhbar-akhbar Semenanjung ataupun untuk mengambil tindakan segera bagi menyelesaikan masalah orang-orang Melayu Patani.



Menjawab pertanyaan itu, Madoc memaklumkan bahawa Bangkok Weekly Standard, sebuah akhbar terbitan di Bangkok, telah menyiarkan sebuah artikel untuk menjawab tohmahan akhbar-akhbar Semenanjung berhubung dakwaan penyelewengan itu. Madoc percaya bahawa kekecohan politik akan reda sebaik saja berlakunya perletakan jawatan oleh Khuang Aphaiwong.Bagaimanapun penulis berkenaan menyaahkan pengaruh-pengaruh asing kerana mempengaruhi dan menghasut orang-orang Patani supaya menentang kerajaan Siam. Madoc memberitahu ahli-ahli Jawatankuasa Kabinet bagi menyiasat keadaan di Selatan Siam. Jawatankuasa ini dipengerusikan oleh Phraya Amraridhamrong, seorang pentadbir yang berpengalaman. Setakat ini, jelas Madoc kerajaan Siam masih belum membuat pengaduan secara rasmi kepada kedutaan British di Bangkok tentang komplot untuk menentang Kerajaan Siam dari Tanah Melayu kecuali melalui akhbar saja.



Selepas berbincang dengan panjang lebar, mesyuarat telah membuat beberapa rumusan. Mereka bersetuju bahawa Tengku Mahmood Mahyideen adalah "the moving spirit" di belakang gerakan subversif di Selatan Siam.Sungguhpun demikian, pihak berkuasa di Tanah Melayu hanya mampu memberi amaran sahaja kepada Tengku Mahmood Mahyideen. Sekiranya tindakan yang lebih keras diambil ia dikuatiri akan menjejaskan perhubungan baik antara kerajaan British dengan orang-orang Melayu, khususnya dengan UMNO atau MNP, sekiranya pihak Siam masih belum mengambil sebarang langkah berkesan untuk menyelesaikan masalah orang-orang Melayu di Selatan Siam. Mesyuarat itu juga meminta pihak Kedutaan British di Bangkok berusaha untuk menyakinkan kerajaan Pibul tentang peri pentingnya masalah Patani diselesaikan segera. Pihak Kedutaan British juga diminta mengemukakan cadangan bagi mengadakan rundingan antara Tengku Mahmood Mahyideen dengan pihak berkuasa Siam bagi menyelesaikan masalah orang Melayu. Mesyuarat itu bagaimanapun menolak cadangan supaya Suruhjaya Penyiasat Bersama British-Siam dibentuk bagi menyiasat keadaan di Selatan Siam.



Mesyuarat itu sebaliknya mencadangkan supaya wartawan-wartawan dibenarkan melawat kawasan-kawasan yang terlibat bagi mendapatkan gambaran yang sebenar tentang keadaan di sana. Rumusan serta cadangan mesyuarat khas itu disambut baik oleh pihak Pejabat Luar British. Pejabat Luar menyokong kuat sebarang usaha untuk mengadakan rundingan di antara Tengku Mahmood Mahyideen dengan pihak Siam.10 Di samping itu usaha-usaha juga perlu diambil bagi menghalang Tengku Mahmood Mahyideen dan pertubuhan-pertubuhan kiri Melayu daripada campur tangan dalam masalah Patani. Pejabat Tanah Jajahan juga menyokong cadangan untuk mengadakan rundingan itu.



Pada bulan Mei 1948, Whittington mengadakan pertemuan dengan Menteri luar Siam yang baru, Mom Priditheppong Dewakul.11 Dalam pertemuan itu, Whittington telah menyampaikan hasrat kerajaan British meminta kerajaan Siam berikhtiar menyelesaikan masalah orang Melayu di Selatan Siam dan juga mengadakan rundingan dengan Tengku Mahmood Mahyideen.





Pertemuan Abdullah Long Puteh dengan Tengku Mahmood Mahyideen



Ekoran desakan tersebut, Pibul Songgram telah mengarahkan Abdullah Long Puteh, Timbalan Menteri Pelajaran, mengadakan penyiasatan tentang kekacauan yang berlaku di Dusun Nyior. Beliau juga diminta supaya mengadakan pertemuan dengan Tengku Mahmood Mahyideen di Kota Bharu bagi membincangkan masalah orang Melayu.



Abdullah Long Puteh telah mengadakan rundingan dengan Tengku Mahmood Mahyideen di Kota Bharu,Kelantan pada 8 Mei 1948. GEMPAR menyambut baik cadangan pihak Thai untuk mengadakan rundingan itu. Dalam kenyataan yang dikeluarkan, GEMPAR juga meminta kerajaan Siam membebaskan Haji Sulung dan rakan-rakannya. Pihak British telah menyambut cadangan mengadakan rundingan di antara kerajaan Siam dengan Tengku Mahmood Mahyideen bagi menyelesaikan masalah Patani. Sekiranya Pibul bersetuju dengan cadangan Abdullah itu,Pejabat Luar British berpendapat adalah baik sekiranya seorang pegawai kanan British juga menyertai rombongan Tengku Mahmood Mahyideen bagi pihak Kerajaan Persekutuan Tanah Melayu. Pandangan itu dikemukakan kepada Whittington, wakil kedutaan British di Bangkok.



Pada 21 Mei, Whittington telah berjumpa dengan Menteri Luar Siam,Mom Priditheppong Dewakul untuk bertanyakan cadangan Abdullah untuk mengadakan rundingan antara Tengku Mahmood Mahyideen dengan pihak Kerajaan Siam. Menteri itu bagaimanapun mengatakan bahawa pihak Kerajaan Siam masih belum membuat sebarang keputusan berhubung dengan cadangan itu. Melihat kepada jawapan Menteri itu, Whittington berpendapat bahawa kerajaan Pibul mungkin tidak menyetujui dengan rancangan Abdullah itu.Mereka menganggap masalah Patani adalah masalah dalam negeri Siam.



Berhubung pertemuan Abdullah-Mahyideen di Kota Bharu, Whittington berpendapat kemungkinan Abdullah bertindak di atas daya usahanya sendiri ataupun arahan Pibul secara peribadi sahaja.Keengganan kerajaan Siam untuk mengadakan rundingan secara langsung dengan Tengku Mahmood Mahyideen ternyata amat mengecewakan pihak British. Malcolm Mac Donald, Pesuruhjaya Tinggi British bagi Asia Tenggara, mengingatkan Pejabat Luar British dan Kedutaan British di Bangkok bahawa kegagalan untuk menyelesaikan masalah Patani itu akan memberi peluang kepada pengaruh-pengaruh kiri untuk memperalatkannya bagi kepentingan mereka. Pejabat Tanah jajahan British juga kecewa dengan sikap Pibul.

Dalam suratnya ke pejabat Luar, J.B. Williams tidak percaya bahawa masalah Patani itu dapat diselesaikan dengan hanya memberi amaran kepada Tengku Mahmood Mahyideen supaya tidak melibatkan diri dalam krisis Selatan Siam. Beliau bimbang kegagalan Tengku Mahmood Mahyideen dalam usahanya untuk membela nasib orang-orang Melayu Patani akan menjejaskan kedudukannya sebagai seorang pemimpin yang sederhana, dan dengan demikian, memberi peluang kepada pemimpin baru yang lebih keras pendiriannya untuk mengambil alih pimpinan yang dianggap sederhana itu.



Pejabat Tanah Jajahan British juga sedar bahawa kerajaan British tidak ada hak untuk campur tangan dalam urusan Siam, namun begitu beliau mengingatkan bahawa kekacauan di selatan Siam bukan sahaja menjejaskan kepentingan British malahan juga orang Melayu di Semenanjung. Apa yang mereka tahu ialah masyarakat sebangsa dan seagama dengan mereka di Selatan Siam telah ditindas oleh pihak Siam. Pada pandangan Pejabat Tanah Jajahan British sikap tidak mengambil peduli tentang pergolakan di selatan Siam tidak lagi meningkatkan perhubungan di antara Tanah Melayu dengan Siam. Memandangkan tidak ada lagi kemungkinan rundingan antara Tengku Mahmood Mahyideen dengan pihak Siam, Williams mendesak Kerajaan British supaya membuka semula pejabat Konsul British di Songkhla. Dengan pembukaan Pejabat Konsular itu, pihak British akan dapat meneliti perkembangan di empat wilayah tersebut dengan lebih dekat lagi.






Darurat dan Kesannya ke atas Orang Melayu Patani



Pada 18 Jun 1948 Kerajaan British telah mengisytiharkan darurat di Semenanjung Tanah Melayu ekoran kebangkitan Komunis yang bercita-cita membebaskan Tanah Melayu daripada cengkaman British dan mendirikan Republik Komunis Malaya (lihat juga Anthony Short 1960; Richard Stubbs 1989; Gene Z. Hanrahan 1971). Dalam usaha untuk membanteras anasir-anasir Komunis itu,kawasan sempadan mesti dikawal rapi, iaitu bagi menghalang pengganas-pengganas itu daripada menyeberang ke Wilayah Siam untuk bersembunyi dan juga untuk tujuan menyekat penyeludupan senjata dari Siam ke Tanah Melayu.



Justeru, kerjasama pihak Siam amat diperlukan. Beberapa minggu selepas darurat diisytiharkan, wakil British di Bangkok telah diarahkan supaya berbincang dengan Pibul Songgram mengenai kepentingan wujudnya kerjasama antara Tanah Melayu dengan Siam bagi melumpuhkan pergerakan komunis di perbatasan. Pibul Songgram telah menyatakan kesediaan Kerajaan Siam untuk membantu British dalam menangani masalah itu. Ekoran daripada itu beberapa pasukan polis sempadan Siam telah dikerah ke kawasan sempadan. Kehadiran anggota-anggota Polis Siam di kawasan sempadan itu bagaimanapun menambahkan lagi ketegangan.



Akhbar-akhbar Semenanjung dan British mendakwa pihak berkuasa Siam di Selatan Siam telah mengambil kesempatan itu untuk menindas orang Melayu.Keadaan ini membimbangkan pihak berkuasa British di Kuala Lumpur. Pejabat Pesuruhjaya Tinggi British di Kuala Lumpur telah menerima petisyen daripada tiga orang pemimpin GEMPAR, iaitu Nik Mahmood Nik Majid, Haji Yaacob bin Haji Abdul Rahman dan Mohamed Darus bin Mohamed Nayang, melalui W.F. Churchill, penasihat British di Kelantan, merayu agar Kerajaan British melindungi orang-orang Melayu di Patani daripada penindasan pihak berkuasa Siam dengan menjadikan Patani sebagai tanah jajahan British atau "New Malaya". Sehubungan ini, Churchill mengingatkan Henry Gurney.



Pesuruhaya Tinggi British di Tanah Melayu bahawa sekiranya orang-orang Melayu Patani tidak mendapat bantuan daripada British ‘they may fall to the Communist blandishments’.Sebaik sahaja Pejabat Konsul British di buka di Songkhla pada awal September 1948, pihak berkuasa British di Kuala Lumpur, dengan persetujuan pejabat Kedutaan British di Bangkok, telah melantik S.Cunyngham-Brown,seorang pegawai daripada Perkhidmatan Awam Tanah Melayu atau Malayan Civil Service, sebagai Malayan Liaison Officer di pejabat Konsulat British di Songkhla. Cunyngham-Brown juga telah dilantik sebagai pemangku Konsul sementara menunggu ketibaan Konsul Tetap, iaitu Kapten Dennis.



Sebelum berlepas ke Songkhla, Cunyngham-Brown telah diarah oleh Gurney dan MacDonald supaya mendapatkan maklumat-maklumat mengenai suasana di Selatan Siam serta melaporkan secara sulit kepada Pesuruhjaya Tinggi persekutuan dan Pesuruhjaya Tinggi British bagi Asia Tenggara.



Beberapa hari selepas tiba di Songkhla, S. Cunyngham-Brown telah membuat lawatan ke beberapa buah wilayah di Selatan Siam dan juga negeri Kelantan. Daripada apa yang dilihatnya Cunyngham-Brown tidak percaya bahawa Kerajaan Persekutuan akan mendapat kerjasama yang rapat dan berkesan daripada tentera dan polis Siam dalam menyelesaikan masalah pengganas-pengganas Cina selagi masalah orang-orang Melayu Patani tidak dapat diselesaikan. Beliau mendapati pihak berkuasa Siam lebih cenderung untuk menindas orang-orang Melayu daripada bertindak ke atas pengganas-pengganas Komunis. Di daerah Bangnara dan Teluban sahaja didapati tidak kurang daripada 66 orang penduduk tempatan telah dibunuh oleh polis Siam sejak 1946. Sekiranya keadaan ini berterusan, beliau bimbang pihak Komunis akan mengambil kesempatan ini untuk mempengaruhi orang-orang Melayu supaya menyokong perjuangan mereka bagi membebaskan wilayah Patani daripada belenggu Penjajah Siam.



Dalam suratnya kepada Gurney dan MacDonald, S. Cunyngham-Brown menyatakan bahawa … saya tidak yakin tentang peluang kita untuk mendapatkan kerjasama yang rapat dan berkesan daripada tentera dan polis Siam dalam menyelesaikan masalah pengganas-pengganasCina Di dalam jangka masa yang singkat ini di Siam, saya mendapat perhatian yang baik daripada pegawai-pegawai tinggi kerajaan tetapi dari pemerhatian saya setakat ini memaksa saya menganggap bahawa mereka tidak berkebolehan untuk memberi kerjasama yang rapat dan teratur kepada kita mahupun jujur dalam menumpuka perhatian mereka kepada pencapaian matlamat yang kita (tidak semestinya mereka mahu… Masalah mengenai 60%-80% penduduk-penduduk Melayu telahpun saya sentuh dalam laporan saya dan saya tidak menambah mengenai hal tersebut… sama ada mereka (orang-orang Melayu) dapat bangun menentang kerajaan Siam secara berkesan adalah dipertikaikan…Bolehkah kita mencegah orang-orang Siam untuk (a) berhenti menindas orang-orang Melayu dan menumpukan perhatian kepada masalah kita - pengganas-pengganas Cina? saya meraguinya. (a) adalah masalah mereka; (b) menurut pandangan mereka adalah masalah kita (a) adalah senang dan menguntungkan mereka; (b) berbahaya dan tidak memberi faedah kepada mereka, kesimpulannya …saya dapat mengatakan bahawa …usaha untuk mencapai kerjasama yang rapat dan berkesan dengan kerajaan Siam dalam dua perkara tersebut tidak akan berhasil tetapi hanya bantuan yang sambil lewa dan janji-janji kosong sahaja yang akan diperoleh. Apakah yang seharusnya kita lakukan? Kerajaan Siam tidak dapat menyerahkan otonomi kepada orang-orang Melayu tanpa menjejaskan maruah mereka dan langkah ini akan membuka jalan kepada kumpulan minoriti lain untuk mendapatkan konsesi yang sama … kebanyakkan orang-orang Melayu telah enggan untuk berkompromi dengan Kerajaan Siam.



Dari pemerhatian saya … hanya tedapat satu penyelesaian sahaja … Satu jalan diplomasi harus dicari untuk membolehkan Siam menyerahkan wilayah sempadannya kepada British atas dasar pinjaman ataupun pajakan. Kita memerlukannya dengan segera untuk membersihkan sarang-sarang pengganas … Kawasan ini walau apa pun potensinya tidak menambahkan hasil kepada Siam serta merupakan masalah kepadanya.hanya kerana untuk menjaga maruah yang menyebabkan Siam tetap bertahan di sana.Ia mungkin … memulih … keyakinan kerajaan Siam jika Britain dapat menawarkan kapal-kapal pemusnah bagi membantu Siam untuk mengawal keselamatan kawasan perairannya: dan pada masa yang sama melangsaikan segala ataupun sebahagian daripada hutang-hutang yang tertentu. Dengan memberi publisiti tentang sikap murah hati Siam terhadap pajakan tersebut untuk satu jangka waktu tertentu katakan 99 tahun dan selepas itu kedudukan wilayah tersebut ditentukan melalui pungutan suara tidak akan dianggap menjejaskan maruah Siam.



Malangnya, salinan surat tersebut telah terjatuh ke tangan Kapten Dennis,pegawai konsul di Songkhla. Dennis, yang dianggap oleh Rees - Williams,SetiausahaTetap bagi Pejabat Tanah Jajahan British di London, sebagai seorang yang pro-Siam telah melaporkan perkara itu kepada Thompson tetapi laporan itu sama sekali bercanggah dengan kandungan surat asal Cunyngham-Brown.



Dalam laporannya pada Thompson, Dennis mendakwa Cunyngnhom-Brown mencadangkan supaya Kerajaan British "menduduki Siam dengan menempatkan tentera-tentera dan membentuk pentadbiran Melayu di sana." Beliau menambah:


Tidak dapat disangkalkan lagi bahawa Cunyngham-Brown adalah anti-Siam. Beliau menganggap bahawa kerajaan Persekutuan adalah majikannya dan sikap ini jelas diperlihatkan melalui laporan-laporan yang dihantar kepada MacDonald dan Gurney.Bersama-sama laporan tersebut disertakan surat-surat yang mana kandungan surat tersebut mengejutkan saya.



Thompson yang selama ini tidak dimaklumkan bahawa Cunyngham-Brown telah diarahkan untuk menghantar salinan laporan-laporannya ke Kuala-Lumpur dan Singapura, dengan marahnya telah menghubungi Setiausaha Luar British, Ernest Bevin. Beliau menganggap cadangan Cungyham-Brown itu akan membawa kepada akibat-akibat yang buruk padahnya dan menyifatkan sebagai satu cadangan yang biadap dan kasar.This country under its present (or indeed any) leadership would never acquiese in a British invasion or cession of territry under force. Moverover, any action on lines proposed would be catastrophic to the East and, I submit, most harful to our relations with the United States. Also, it would be a literal godsend to Russia. Are we really to deal with Siamas Hitler dealt with Czechoslovakia? And where is Malaya to get her vital rice if we deliberately turn Siamese into bitter enemies?



Thomson yang selama ini tidak dimaklumkan bahawa Cunyngham-Brown telah diarahkan untuk menghantar salinan laporan-laporan ke Kuala Lumpur dan Singapura dengan marahnya telah menghubungi setiausaha Luar British,Ernest Bervin.5 Beliau menganggap cadangan Cungynham-Brown itu akan membawa kepada akibat-akibat yang buruk padanya dan menyifatkannya sebagai cadangan yang biadap dan kasar.Lantaran itu Cunyngham-Brown digantung dari tugas-tugasnya serta mengarahkan beliau meninggalkan Siam dengan segera dan melaporkan kepada Pesuruhjaya Tinggi di Kuala Lumpur.



Seperti juga dengan Dennis, Konsulnya di Songkhla, Thompson adalah seorang pegawai Diplomat British yang terkenal dengan sikapnya yang pro-Pibul Songgram. Pada pandangan beliau, kestabilan politik bagi negeri Siam bergantung kepada pimpinan Pibul Songgram. Atas dasar itu, beliau bertekad untuk mempertahankan rejim Pibul walaupun rejim itu dianggap sebagai sebuah kerajaan diktator.



Pemecatan Cunynyhan-Brown itu telah memburukkan hubungan antara Kedutaan British di Bangkok dengan pihak berkuasa British di Kuala Lumpur. Gurney yang tidak tahu menahu mengenai tuduhan-tuduhan ke atas Cunyngham-Brown itu menghubungi Setiausaha Tanah Jajahan British untuk mendapatkan penjelasan tentang hal itu serta menambah bahawa beliau seharusnya diberitahu sebelum sesuatu tindakan diambil untuk memecatnya.Dalam pada itu, Thompson, setelah didesak untuk membuktikan tuduhannya terhadap Cunyngham-Brown, membalas dengan mengatakan bahawa gerakan pemisahan di Selatan Siam dibantu oleh individu-individu dan pertubuhan-pertubuhan di Persekutuan Tanah Melayu dengan pengetahuan Kerajaan Persekutuan.



Untuk membuktikan penglibatan pegawai-pegawai British dalam gerakan tersebut, Thompson menarik perhatian Pejabat Luar British kepada kewujudan pertubuhan yang dikenali sebagai KRIS yang beribu pejabat di Kota Bharu, Kelantan. Tegasnya, pertubuhan tersebut telah mengeluarkan lencana yang bertulis "New Malaya" untuk diedarkan kepada ahli-ahlinya, termasuk juga orang-orang Melayu di Patani. Pengedaran lencana tersebut mempunyai kaitan dengan rancangan penaklukan Selatan Siam oleh tentera British.



Dengan demikian, Kerajaan Siam mempunyai alasan yang kuat untuk mensyaki bahawa gerakan untuk menggabungkan wilayah-wilayah Melayu di Selatan Siam ke dalam Persekutuan Tanah Melayu mendapat simpati dan sokongan aktif dan pegawai-pegawai British di Perseutuan Tanah Melayu.



Perhubungan yang rapat antara pegawai-pegawai British di Kelantan dengan tokoh-tokoh pemisah adalah "suatu yang sangat pahit untuk ditelan".Selagi pegawai-pegawai tersebut tidak diberitahu tentang isu-isu yang lebih luas mereka akan menghadapi masalah yang besar dalam hubungan Siam dengan Persekutuan Tanah Melayu.



Bagi mengukuhkan lagi tohmahannya terhadap penglibatan pegawai-pegawai British di Persekutuan dalam masalah Patani, Thompson mengemukakan kepada Pejabat Luar British kenyataan bertulis daripada Pibul Songgram yang menyalahkan pihak-pihak tertentu di Tanah Melayu yang cuba menghalang usaha Kerajaan Siam utnuk melaksanakan reformasi di Selatan Siam.MacDonald bagaimanapun menganggap tomahan Thompson itu sebagai tidak berasas. Kerajaan persekutuan, termasuk pegawai-pegawainya, tidak pernah merancang untuk menakluk Selatan Siam.



Perbalahan antara Kuala Lumpur dengan kedutaan British di Bangkok telah memeranjatkan pihak Berkuasa British di London. Arahan telah dikeluarkan kepada kedua-dua pihak supaya menyelesaikan perbalahan tersebut. Dalam komennya berhubung dengan isu tersebut. A.M. Palliser menyebut:


The solution to this, however, clearly lies a better understanding between our Embassy and the Malayan authorities and the "Foreign Office set-up in the Cathay Building".Unless Thompson is satisfied in his own mind that no one who matters in Malaya wants to turn Siam into a British colony, he will find it hard to put our case to the Siamese;and unless the Malayan authorities make it clear to their juniors that the Siamese are an independent people whose independence has to be respected, the Malays will continue to receive convert support from ignorant and prejudiced officials.



Dalam masa yang sama Thompson telah mengadakan perbincangan dengan Pibul Songgram mengenai keadaan di Patani.11 Beliau meminta supaya Pibul mengambil langkah-langkah sewajar bagi meredakan ketegangan sambil mengingatkan tentang kemungkinan isu itu kiranya tidak diatasi akan memburukkan hubungan antara Bangkok dengan Kuala Lumpur. Pibul memberi jaminan bahawa masalah di Patani akan diatasi dalam tempoh yang segera.



Malahan, Pibul menegaskan bahawa sebuah Suruhanjaya telah ditubuhkan untuk menangani masalah tersebut. Menjelang persidangan di Kuala Lumpur, Pibul Songgram telah menulis surat rasmi kepada Thompson untuk memberi jaminan secara bertulis komitmen kerajaan pimpinannya untuk menyelesaikan masalah di Patani. Antara langkah-langkah yang akan diambil ialah menghantar pegawai yang benar-benar faham dengan adat resam masyarakat Melayu dan agama Islam untuk bertugas di Patani, melantik seorang Chularajamontri yang baru, menjadikan hari Jumaat sebagai hari cuti am dan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa utama dalam sukatan pelajaran.



Dengan berpegang kepada surat Pibul, Thompson menolak dakwaan pihak berkuasa Tanah Melayu bahawa kerajaan Siam menindas orang-orang Melayu Patani.GEMPAR, dalam risalahnya. bagaimanapun menganggap ‘janji-janji’ Pibul itu sebagai omong kosong sebaliknya menuntut kerajaan Siam menyerah kepada orang-orang Melayu hak kedaulatan ke atas Patani. Kenyataan GEMPAR itu disokong kuat oleh akhbar Singapore Free Press. Akhbar itu menegaskan bahawa:
Marshall Phibul Songkhram’s own record has not been such as to inspire the belief that Patani Malays could expect sympathy from any government which he leads, for he has been renowned for his ultra-nationalistic outlook and his support of the ‘assimilation policy’ (Singapore Free Press, 23 Nov. 1948).





Mesyuarat Khas di Kuala Lumpur



Pada 16 November 1948, atas arahan Pejabat Luar British, satu mesyuarat khas telah diadakan di Kuala Lumpur bagi menyelesaikan perbalahan antara Kerajaan Persekutuan dengan Kedutaan British di Bangkok berhubung soal pemecatan Cunyngham-Brown dan kerjasama sempadan Tanah Melayu-Siam.14 Mesyuarat itu yang dipengerusikan oleh Malcom MacDonald turut dihadiri oleh Sir Henry Gurney, Pesuruhjaya Tinggi persekutuan, G.H.Thompson, Duta British di Bangkok, Major-Jeneral C.B Boucher, G.O.C bagi Persekutuan Tanah Melayu, Mejar-Jeneral J.M Kirkman, Ketua Turus FARELF,P. S Scrivener, Timbalan Pesuruhjaya Tinggi British bagi Asia Tenggara, Sir Alec Newboult, Ketua Setiausaha Persekutuan, Kolonel W.N Gray, Pesuruhjaya Polis, Kapten S. Dennis, Konsul British di Songkhla, Kolonel Heslop, Atase Tentera British di Kedutaan British di Bangkok, dan W.F. N Churchill, Penasihat British di Kelantan.



MacDonald memulakan mesyuarat itu dengan meminta Thompson dan Gurney mengemukakan pandangan masing-masing tentang isu-isu perbatasan. Thompson menekankan tentang peri pentingnya mempertahankan kerajaan Pibul demi kestabilan politik Siam dan Asia Tenggara. Pihak berkuasa Siam juga mencurigai niat British ke atas wilayahnya di selatan.



Gurney memberi jaminan kepada Thompson bahawa pihak berkuasa di Tanah Melayu tidak berniat untuk menguasai wilayah dengan membantu puak pemisah Melayu.Mengenai masalah oran Melayu Patani, Thompson mengingatkan bahawa selagi pihak berkuasa Tanah Melayu membenarkan pemimpin-pemimpin Melayu Patani menjalankan kegiatan anti-Siam maka selama itulah keadaan di empat wilayah, khususnya di Patani, Narathiwat dan Yala, akan berada dalam keadaan tegang. Keadaan itu akan memaksa pihak berkuasa Siam menggunakan kekerasan bagi melumpuhkan gerakan orang Melayu.



Pada pandangannya dengan menyekat kegiatan pemimpin-pemimpin Melayu Patani,maka barulah pihak berkuasa Persekutuan akan mendapat kerjasama yang lebih berkesan daripada Siam bagi menentang pengganas Komunis.Berhubung dengan kerjasama sempadan, Thompson memberi jaminan bahawa Kerajaan Siam sememangnya berhasrat bekerjasama dengan Kerajaan Persekutuan Tanah Melayu bagi menentang pengganas-pengganas Komunis di sepanjang sempadan. Sungguhpun demikian, keberkesanan dan pelaksanaan dasar itu adalah amat sukar selagi pegawai-pegawai polis Siam diberi gaji yang murah dan sama sekali enggan berjuang menentang pengganas Komunis.Tetapi beliau masih ragu-ragu sama ada kerajaan Siam akan membenarkan pasukan keselamatan Persekutuan Tanah Melayu menjalankan operasi menentang pengganas-pengganas Komunis dalam wilayah di Selatan Siam.



Berhubung dengan persoalan ini, mesyuarat tersebut memutuskan bahawa satu perbincangan antara pegawai British dengan Siam perlu diadakan di Songkhla bagi mencari titik pertemuan. MacDonald bersetuju untuk membangkitkan perkara tersebut kepada Perdana Menteri Siam dalam lawatannya ke Bangkok pada akhir November 1948. Beliau juga berharap kedua-dua belah pihak akan dapat menghasilkan kejayaan dalam usaha memerangi pengganas-pengganas Komunis.



Mesyuarat itu juga membincang kes Cunyngham-Brown. Thompson mengaku bahawa beliau bersalah dalam menggantungkan Cunyngham-Brown tanpa usul periksa yang lebih teliti. Gurney, bagi pihak Kerajaan Persekutuan, juga bersetuju untuk bertolak-ansur dalam kes tersebut. Cunyngham-Brown telah melakukan kesilapan dengan menulis surat kepada Gurney dan MacDonald tanpa melalui Thompson.



Mesyuarat di Kuala Lumpur itu telah berjaya mengendurkan ketegangan antara perwakilan British di Bangkok dengan pihak berkuasa British di Kuala Lumpur tentang isu-isu perbatasan, khususnya yang berkaitan dengan puak pemisah dan kaum Melayu di empat wilayah. Pihak berkuasa British di Tanah Melayu telah memberi jaminan bahawa pihaknya tidak pernah berniat untuk membantu puak pemisah Melayu Patani atau pun untuk menguasai wilayah tersebut seperti yang didakwa. Apa yang dituntut oleh Kuala Lumpur ialah orang-orang Melayu hendaklah diberi layanan adil oleh pihak berkuasa Siam untuk mengelak ketegangan terus memuncak di wilayah itu yang menjejaskan usaha British untuk membanteraskan ancaman pengganas-pengganas Komunis di perbatasan.





Persidangan Songkhla dan Implikasinya keatas Pergerakan Melayu Patani



Dalam usaha untuk mewujudkan kerjasama yang lebih berkesan dengan kerajaan Siam dalam membanteraskan pengganas-pengganas Komunis di perbatasan, pada 29 November 1948 Malcolm MacDonald telah bertolak ke Bangkok untuk berunding secara langsung dengan Perdana Menteri Pibul Songgram. Inilah buat kali pertamanya seorang pegawai kanan British melawat Siam selepas rampasan kuasa November 1947.



Dalam sesi perbincangan dengan Pibul Songgram, soal kerjasama sempadan, terutamanya masalah orang-orang Melayu Patani dan ancaman pengganas Komunis, telah dibangkitkan oleh MacDonald (Bangkok Post 30 Nov. 1940). Pibul berikrar akan memberikan kerjasama yang rapi dalam usaha British untuk menghapuskan pengganas di sempadan sementara MacDonald pula berjanji akan menyekat pemimpin-pemimpin Melayu Patani yang berpusat di Kelantan daripada menimbulkan kekacauan di Selatan Siam.



MacDonald memberi jaminan bahawa pihak British tidak berniat untuk menguasai empat wilayah sebagaimana dipropagandakan oleh setengah-tengah pihak yang mempunyai kepentingan peribadi. Pibul Songgram juga bersetuju dengan cadangan MacDonald untuk mengadakan persidangan di peringkat pegawai berhubung dengan kerjasama sempadan di Songkhla pada 6 Januari 1949.




Persidangan Songkhla



Persidangan Songkhla berlangsung pada 6 dan 7 Januari khusus bagi membincangkan kerjasama sempadan Tanah Melayu dengan Siam.1 Perwakilan Persekutuan Tanah Melayu telah diketuai oleh Mejar-Jeneral C.H. Boucher,sementara perwakilan Siam pula diketuai oleh Mejar Jeneral M.L. Chuang.



Bagi melicinkan perlaksanaan perbincangan tersebut, para perwakilan telah dibahagikan kepada beberapa jawatankuasa kecil. Tiga buah Jawatankuasa telah dibentuk dan dikelaskan kepada jawatankuasa kecil tentera, jawatankuasa kecil polis dan jawatankuasa kecil awam (Politik) Dalam sesi jawatankuasa kecil tentera, ketua perwakilan persekutuan Tanah Melayu Mejar-Jeneral C.H.Boucher menegaskan bahawa musuh tersebut telah menghentikan kegiatan mereka dan pertubuhan-pertubuhan pemisahan seperti GEMPAR telah hampir lumpuh.



Jelaslah jawapan yang diberikan oleh Churchill menggambarkan bahawa beliau kurang berminat untuk berdamai dengan pihak Siam malah menyifatkan kegiatan gerakan pemisahan di Kelantan sebagai kurang penting. Para perwakilan Siam menganggap penjelasan yang diberikan oleh Churchill itu kurang memuaskan dan mereka mendakwa mereka mempunyai bukti-bukti dalam bentuk lencana, pakaian seragam dan bendera-bendera yang kesemuanya diperbuat di Persekutuan Tanah Melayu dan dokumen-dokumen yang menunjukkan bahawa pemimpin-pemimpin Melayu Selatan Siam masih aktif dalam kegiatan-kegiatan untuk menyatukan wilayah-wilayah Melayu ke dalam Persekutuan Tanah Melayu.



Mereka juga menarik perhatian perwakilan Persekutuan Tanah Melayu pada sikap dingin yang ditunjukkan oleh akhbar-akhbar di Persekutuan Tanah Melayu terhadap Kerajaan Siam. Churchill menjawab bahawa pihak akhbar di Persekutuan Tanah Melayu tidak dapat memberi perhatian khusus kepada Kerajaan Siam memandangkan mereka tidak tahu apa yang dilakukan oleh Kerajaan Siam di Selatan Siam. Perwakilan Siam kemudiannya mengundang wartawan-wartawan Persekutuan Tanah Melayu untuk melawat selatan Siam supaya mereka mendapat memahami keadaan di sana.



Daripada perbincangan-perbncangan yang diadakan jelas menunjukkan bahawa Kerajaan Siam bersetuju untuk mengadakan kerjasama sempadan yang lebih rapat dengan pihak British tetapi kedua-dua pihak yang terlibat dalam persidangan itu mempunyai kepentingan yang berbeza.



Matlamat British ialah untuk mendapatkan bantuan dari Kerajaan Siam untuk membanteraskan pengganas Komunis di sempadan, manakala tujuan kerajaan Siam pula ialah untuk menghentikan bantuan dan sokongan daripada pihak luar kepada pergerakan pemisahan wilayah-wilayah Islam di Selatan Siam.



Persidangan itu kesudahannya menjadi medan tawar-menawar di antara pihak Persekutuan Tanah Melayu dengan kerajaan Siam. Kerajaan Persekutuan tidak akan mengalakkan aktiviti-aktiviti pemisahan di Kelantan atau mana-mana wilayah di Semenanjung Tanah Melayu. Seandai kerajaan Siam mula akan memberi sokongan tentera dalam usaha membanteraskan kegiatan pengganas-pengganas komunis.



Selepas persidangan itu Thompson telah mengemukakan laporannya pejabat Luar British di London. Di dalam laporan tersebut Thompson menyatakan bahawa walaupun pihak berkuasa British di Tanah Melayu memandang sepi terhadap kegiatan-kegiatan orang-orang Melayu Patani tetapi kehadiran mereka di Kota Bharu mengikut pandangan pihak Siam jelas mempunyai pengaruh yang tidak sihat dan merupakan sebab utama timbulnya perasaan tidak puas hati di kalangan orang-orang Melayu di Selatan Siam.



Mengikutnya lagi, pihak Tanah Melayu akan memperolehi kerjasama kerajaan Siam yang lebih berkesan bagi ancaman komunis PKM sekiranya mereka menghapuskan kegiatan pergerakan pemisahan di Kelantan. Beliau mendesak pihak berkuasa Kelantan mengambil tindakan tegas ke atas pemimpin-pemimpin Patani di Kelantan.



Oleh kerana tekanan daripada Thompson, Kerajaan Tanah Melayu dalam keadaan serba salah terpaksa mengambil tindakan ke atas pemimpin-pemimpin Patani di Kelantan. Nai Chaem Promyong atau Haji Samsuddin, bekas Chularajamontri, telah dikenakan hukuman kawalan polis di Pasir Puteh,Selama 12 bulan iaitu dari 17 Januari 1949 sebelum beliau dihantar pulang ke Siam pada awal 1950.



Hukuman yang sama juga telah dikenakan terhadap Tengku Abdul Jalal dan Tengku Abdul Kadir Putera. Tengku Abdul Jalal telah dikenakan hukuman sekatan tempat tinggal di Perak dari bulan Februari hingga Julai 1949 sebelum beliau dibenarkan berpindah ke Singapura. Manakala Tengku Abdul Kadir Putera dikenakan hukuman yang sama di Pasir Puteh.



Semua orang-orang Pelarian Patani telah ditempatkan di jajahan Pasir Puteh,kira-kira 25 batu dari ibu negeri Kelantan. Langkah ini adalah bagi memutuskan hubungan mereka dengan penduduk-penduduk di wilayah Siam Selatan. Tuan Guru Haji Sulung telah dijatuhi hukuman penjara selama tiga setengah tahun oleh Mahkamah atas kesalahan menghasut, sementara Tengku Mahmood Mahyideen pula telah ‘dinasihatkan’ supaya menghentikan kegiatannya.



Setelah terbukti pihak British di Tanah Melayu memenuhi persetujuan Songkhla, kerajaan Siam memulakan rundingan untuk membanteraskan pengganas-pengganas Komunis di perbatasan. Pada 1 September 1949,perjanjian Kerjasama Polis Sempadan telah dimeteraikan di Bangkok (Nik Anuar Nik Mahmud 1989, 13-28). Perjanjian ini membenarkan pasukan polis kedua-dua buah negara, tertakluk kepada beberapa syarat, melintasi sempadan dalam operasi menentang pengganas-pengganas Komunis. Pada peringkat awalnya, kawasan operasinya hanya meliputi kawasan Betong dan Sadao sahaja. Pada tahun 1950, kawasan operasi telah diperluaskan ke wilayah Narathiwat dan Kelantan. Selain itu, pasukan Polis kedua-dua negara juga telah menubuhkan cawangan risikan bersama untuk meningkatkan keberkesanan tindakan terhadap pengganas-pengganas Komunis. Kerjasama sempadan semakin bertambah penting dengan pemindahan ibu pejabat PKM ke Betong pada tahun 1952.



Kewujudan kerjasama erat antara pasukan keselamatan Tanah Melayu dan Siam di kawasan sempadan telah melemahkan pergerakan politik orang Melayu Patani. Tambahan pula, Kerajaan Siam telah mengisytiharkan darurat di wilayah Selatan. Kematian misteri Tengku Mahmood Mahyideen, pemimpin yang sangat dihormati, Tuan Guru Haji Sulung bersama-sama tiga pemimpin Melayu yang lain dalam tahun 1954 telah melemahkan lagi pergerakan politik Patani. Haji Sulung di percayai telah dibunuh oleh pihak Polis Siam dan mayatnya telah dibuangkan ke dalam laut di antara Pulau Tikus dan Pulau Gajah (Muhammad Kamal K. Zaman 1996). Akibat kehilangan pemimpin-pemimpin penting itu, pergerakan Patani telah berpecah menjadi kumpulan-kumpulan kecil tanpa pimpinan yang berkaliber. Mereka melancarkan serangan ke atas pasukan polis apabila peluang terbuka. Di samping itu kumpulan itu juga menjalankan kegiatan-kegiatan jenayah seperti merompak dan seumpamanya. Keadaan ini berterusan sehinggalah penghujung 1950-an.



Kemerdekaan Tanah Melayu dari penjajah British pada 31 Ogos 1957 telah menimbulkan kembali semangat nasionalisme pemimpin-pemimpin Melayu Patani untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka dari pemerintahan Siam. Terbit dari kesedaran inilah beberapa orang pemimpin Melayu Patani sama ada yang berada dalam buangan di Tanah Melayu ataupun Patani sendiri telah mulai menghubungi satu sama lain untuk menubuhkan badan politik bagi menyambung perjuangan Almarhum TengkuMahmood Mahyideen dan Almarhum Haji Sulung yang belum selesai.



Hasil dari pertemuan itu pada 13 Mac 1960 lahirlah Barisan Revolusi Nasional (BRN) di bawah pimpinan Haji Wan Muhammad Amin bin Tuan Guru HajiSulung, bekas wakil rakyat Patani dan Tengku Abdul Jalal, bekas Timbalan Presiden GEMPAR (Wan Kadir Che Man 1990).Beberapa langkah telah diambil oleh badan-badan politik tersebut untuk mendapatkan sokongan antarabangsa.



Dalam tahun 1963, barisan kepimpinan politik Patani telah cuba mengambil kesempatan daripada dasar anti-imperialisme Indonesia untuk mendapatan sokongan Presiden Soekarno agar membantu rakyat Patani dalam perjuangan mereka untuk mencapai kemerdekaan. Dalam suratnya kepada presiden Soekarno, Tengku Abdul Jalal, selaku Presiden BRN, antara lain menegaskan bahawa:


Di dalam keadaan Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu sedang mendesak segala kerajaan yang menjajah supaya memerdekakan negara-negara yang dijajahnya itu;tetapi Siam sebuah kuasa penjajah timur yang sedang menjajah Petani tidak terpandang oleh Pertubuhan Bangsa-Bagsa Bersatu itu, dari itu Jawatankuasa pembebasan patani di luar negeri merayu kepada negara-negara yang memperjuangkan kemerdekaan tanah2 jajahan dan pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu supaya memandang berat akan keadaan ini meski pun dirasai pada masa ini Patani tidak menjadi suatu punca huru-hara di Asia Tenggara, tetapi keadaan ini akan dapat bertukar dengan cepat, kiranya seluruh bangsa yang merdeka dan kuasa berpengaruh membiarkan keadaan ini, kita yakin dengan keadaan kita masa depan akan menimbulkan suatu peperangan melawan penjajah Siam.



Dari itu kita merayu kepada Paduka yang Mulia president Soekarno,moga-moga bersimpati dan bertimbang rasa dengan perjuangan rakyat tani yang berkehendakkan kemerdekaan.



Rayuan Tengku Abdul Jalal bagaimanapun disambut dingin oleh pemimpin-pemimpin Indonesia. Tercetusnya konfrontasi antara Indonesia-Malaysia merupakan sebab utama mengapa kes Patani gagal mendapat pembelaan daripada Presiden Soekarno, jaguh anti-imperialisme. Indonesia juga memerlukan kerjasama Siam untuk menamatkan konfrontasinya dengan Malaysia. Sekali lagi Patani menjadi mangsa percaturan politik antarabangsa.



Rumusan



Patani adalah sebahagian daripada tanah ‘Tanah Melayu’. Bagaimanapun, pada pertengahan abad ke-19 Patani telah menjadi mangsa dasar imperialistik kerajaan Siam. Dalam tahun 1826, penaklukan Siam ke atas Patani telah diakui oleh British. Dalam usahanya untuk mengukuhkan cengkamannya ke atas Patani, pada tahun 1902 kerajaan Siam melaksanakan dasar Thesaphiban.



Dengan itu, sistem pemerintahan kesultanan Melayu telah dihapuskan. Dengan termeterainya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Patani telah diakui oleh British sebagai sebahagian daripada jajahan Siam walaupun tanpa kerelaan orang-orang Melayu Patani.



Semenjak penghapusan pemerintahan Kesultanan Melayu Patani, orang-orang Melayu-Patani berada dalam keadaan tertekan dan daif. Seperti yang diungkap oleh W.A.R. Wood, Konsol British di Songkhla, orang-orang Melayu telah menjadi mangsa sebuah pemerintahan yang ‘misgoverned’. Justeru, tidaklah hairan kekacauan seringkali berlaku di Patani. Pada tahun 1923, Tengku Abdul Kadir Kamaruddin, bekas raja Kerajaan Melayu Patani, dengan sokongan pejuang-pejuang Turki, telah mengepalai gerakan pembebasan. Kebangkitan anti-Siam menjadi lebih hebat lagi apabila kerajaan Pibul Songgram (1939-44) cuba mengasimilasikan kaum minoriti Melayu ke dalam masyarakat Siam melalui Dasar Rathaniyom.



Penglibatan Siam dalam Perang Dunia Kedua di pihak Jepun telah memberikan harapan kepada orang-orang Melayu Patani untuk membebaskan tanah air mereka daripada penjajahan Siam. Tengku Mahmood Mahyideen, putera bekas Raja Melayu Patani juga seorang pegawai berpangkat Mejar dalam pasukan Force 136, telah mengemukakan rayuan kepada pihak berkuasa British di India supaya mengambil alih Patani dan wilayah sekitarnya serta digabungkan dengan Tanah Melayu.



Cadangan Tengku Mahmud itu adalah selaras dengan rancangan Pejabat Tanah Jajahan British untuk mengkaji kedudukan Segenting Kra dari sudut kepentingan keselamatan Tanah Melayu selepas perang nanti.

Harapan itu semakin cerah apabila kuasa-kuasa berikat, dalam Perisytiharan San Francisco pada bulan bulan April 1945, menerima prinsip hak menentu nasib sendiri (self-determination) sebagai usaha membebaskan tanah jajahan daripada belenggu penjajahan.



Atas semangat itu, pada 1 November 1945, sekumpulan pemimpin Melayu Patani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalal, bekas wakil rakyat wilayah Narathiwat, telah mengemukakan petisyen kepada Kerajaan British merayu supaya empat wilayah di Selatan Siam dibebaskan daripada pemerintahan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Tanah Melayu. Namun begitu, pendirian British terhadap Siam berubah apabila Peperangan Pasifik tamat. Keselamatan tanah jajahan dan kepentingan British di Asia Tenggara menjadi pertimbangan utama kerajaan British dalam penggubalan dasarnya terhadap Siam atau pun Patani.



Kerajaan British memerlukan kerjasama Siam bagi mendapatkan bekalan beras bagi keperluan tanah jajahannya. Tidak kurang pentingnya, kerajaan British terpaksa menyesuaikan dasarnya terhadap Siam dengan tuntutan Amerika Syarikat yang mahu mengekalkan wilayah Siam seperti dalam tahun 1941.



Kebangkitan Komunis di Asia Tenggara, khususnya di Tanah Melayu pada tahun 1948, menjadi faktor pertimbangan British dalam menentukan dasarnya. Kerajaan British menganggap Siam sebagai negara penampan terhadap ancaman Komunis China. Justeru, Kerajaan British mahu memastikan Siam terus stabil dan memihak kepada Barat dalam persaingan dengan Negara-Negara Komunis. Kerajaan British memerlukan kerjasama kerajaan Siam bagi menghapuskan kegiatan penganas-penganas Komunis di perbatasan Tanah Melayu-Siam.



Kebetulan pula kerajaan Siam telah memberi jaminan untuk memperkenalkan reformasi pentadbiran dan sosio-ekonomi di Patani bagi mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat Melayu. Oleh kerana itu, isu Patani mula dianggap kurang penting malahan kiranya dibangkitkan akan menjejaskan hubungan dengan Siam.



Selepas Persidangan Songkla pada awal Januari 1949, pihak berkuasa British di Tanah Melayu atas tuntutan pihak Siam mula mengambil tindakan terhadap pemimpin-pemimpin pejuangan Patani. GEMPAR juga telah diharamkan. Tengku Mahmood Mahyideen telah ditekan manakala Haji Sulung dihukum penjara. Pergerakan politik Patani semakin lemah dengan kematian Tengku Mahmood Mahyideen dan Haji Sulung pada tahun 1954.



Sehubungan perjuangan politik kemerdekaan Patani, seorang pegawai Pejabat Tanah Jajahan British pernah mengulas bahawa:


If the affairs in this world were settled by common sense and equity, I personally have no doubt what ever that Patani ought to be seperated from Siam dan become part of Malaya. The inhabitants are 90%. Malays and 90% Mohamedans (in a Buddhist country). All their connections are with the south, and particularly with Kelantan, and the Siamese record in Patani is one of dreary mis-rule interspersed with sporadic outbursts of actual tyranny. There is no doubt that where the wishes of the inhabitants lie, and a fair plebscite (if one could be arranged) could only have one result. In the complex affairs of international politics, however, mere practical considerations of this mind do not find much place.